Memanfaatkan Kehidupan Saat Ini Dengan Praktik Dhamma
Yo ca vassataṁ jῑve, apassaṁ udayabhayaṁ. Ekāhaṁ jῑvitaṁ seyyo, passato udayabhayaṁ.“Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi”.(Dhp. Sahassa vagga, 113)
Terlahir sebagai manusia merupakan suatu keberuntungan bagi setiap orang. Dengan terlahir sebagai manusia, seseorang mampu melakukan apa saja yang ia inginkan, entah itu melakukan tindakan kebaikan maupun keburukan. Banyak dari kita terlahir sebagai manusia masih belum memahami mengenai keberuntungan. Ke-beruntungan tersebut seolah-olah dianggap sebagai hal yang kekal. Beranggapan bahwa apa yang ia dapatkan saat ini harus dimanfaatkan dengan melakukan kejahatan.
Seperti yang terjadi di beberapa kasus seperti di Indonesia maupun di mancanegara, sering kita melihat atau mendengar peristiwa kejahatan. Kejahatan dilakukan bisa disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut bisa berupa faktor ekonomi, politik, agama, maupun sosial lainnya. Selain itu, kejahatan juga dilakukan karena ketidaktahuan. Karena ketidaktahuan, seseorang beranggapan bahwa dengan terlahir sebagai manusia ia bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Ia akan beranggapan bahwa dengan melakukan kejahatan hidupnya akan bahagia, hidupnya tidak akan sia-sia.
Seperti pepatah mengatakan tidak ada kejahatan yang sempurna. Kata-kata tersebut memang benar, seandainya seseorang melakukan kejahatan belum tentu ia akan bahagia, belum tentu ia akan hidup sejahtera. Sekecil apa pun kejahatan yang dilakukan pasti akan memberikan dampak, memberikan efek, memberikan konsekuensi yang buruk yaitu berupa penderitaan. Diketahui maupun tidak diketahui oleh orang lain, mau dilihat atau tidak dilihat, semua itu akan tetap memberikan dampak yang buruk, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Di dalam Agama Buddha, keberuntungan seseorang bukan hanya dilihat dari satu sisi saja, melainkan banyak sisi. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa memiliki mobil mewah, rumah bagus, harta berkecukupan, punya anak, punya pasangan hidup adalah keberuntungan yang paling baik. Memang secara sosial semua itu keberuntungan yang baik. Akan tetapi, ada satu hal yang paling terbaik yaitu karena kita bisa terlahir sebagai manusia dan juga mengenal Dhamma. Dengan terlahir sebagai manusia dan juga mengenal Dhamma, kita mampu melakukan hal yang terbaik di kehidupan saat ini.
Hal baik tersebut bisa kita lakukan dengan kebajikan seperti mempraktikkan s?la dan sam?dhi dengan sebaik mungkin. Selain itu, kebajikan yang tidak kalah pentingnya yaitu dengan mempraktikkan dana. Seseorang yang mempraktikkan dana hidupnya akan berkecukupan tanpa kekurangan, baik di kehidupan saat ini maupun di kehidupan yang akan datang. Sebagian orang beranggapan bahwa berdana adalah hal yang paling rendah, hal yang paling sedikit manfaatnya dari praktik Dhamma lainnya. Padahal berdana dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi siapa pun yang mem-praktikkannya. Hal tersebut tertuang dalam A?guttara Nik?ya 4:57 yang menyatakan bahwa empat manfaat kebajikan dari berdana, khususnya berdana makanan yaitu:
1.?yu? deti (umur panjang)
Memiliki usia panjang merupakan idaman bagi setiap orang. Dari manusia bahkan hewan terkecil apa pun selalu menginginkan umur panjang. Banyak orang-orang mencari berbagai macam cara agar memiliki umur panjang. Ada yang mengatur pola hidup sehat dengan makanan atau buah-buahan yang bergizi. Ada pula dengan rutin berolah raga, ada pula dengan minta didoakan ketika berulang tahun dengan harapan berumur panjang. Dalam pandangan agama Buddha, umur panjang tidak hanya didapatkan dengan mengatur pola hidup sehat saja, melainkan dengan menata pola pikir, dengan berpikiran positif tanpa berprasangka buruk kepada siapa pun. Dengan berpikiran positif, berpikiran baik, maka akan mampu menciptakan kedamaian dalam batin tanpa merasakan khawatir, takut, cemas, stres, dan depresi yang berlebihan. Selain itu, dikatakan pula di dalam Dhamma bahwa seseorang menghindari pembunuhan makhluk, maka hidupnya akan sehat. Dengan sehat, maka seseorang akan memiliki usia panjang. Dengan memilki usia panjang, kita mampu praktik Dhamma yang lebih tinggi.
2.Va??a? deti (wajah cantik/tampan)
Memiliki wajah yang cantik atau tampan juga merupakan dambaan setiap orang. Seseorang akan bahagia jika memiliki rupa yang cantik atau wajah yang tampan. Berbeda halnya jika kita memiliki wajah buruk rupa maka kita akan dicemooh, dikucilkan, bahkan jadi bahan hinaan orang lain. Di dalam agama Buddha, seseorang yang memiliki wajah yang cantik/tampan didapatkan karena beberapa sebab. Sebab tersebut bisa berupa penahanan diri dari kemarahan, kedengkian, kebencian tanpa iri hati, sopan, ramah tamah dan murah senyum, maka kehidupan yang akan datang memiliki wajah yang cantik ataupun tampan.
3.Sukha? deti (kebahagiaan)
Setiap orang memiliki tujuan, cita-cita dan harapan ingin hidup bahagia. Dari sekian ribu ataupun jutaan manusia, bahkan binatang sekalipun ingin hidupnya bahagia. Tidak ada satu pun dari kita ingin hidupnya menderita. Jika seseorang ingin hidup bahagia, maka ia harus melakukan kebajikan. Kebajikan tersebut bisa berupa dana, s?la, maupun sam?dhi. Mengapa dikatakan berdana makanan membuat seseorang hidup bahagia? Karena dengan berdana makanan kita akan mengondisikan orang lain atau makhluk lain bahagia. Dengan orang lain bahagia, suatu saat kita akan menerima buah kamma nya yaitu berupa kebahagiaan.
4.Bala? deti (kekuatan)
Berdana adalah latihan untuk melepas apa yang kita miliki. Dengan melatih diri untuk melepas, maka seseorang akan memiliki kekuatan. Kekuatan di sini terbagi menjadi dua, yaitu kekuatan secara fisik maupun mental. Kekuatan fisik yang dimaksud berupa kesehatan jasmaniah seperti tidak gampang sakit-sakitan. Sedangkan kekuatan mentalitas yaitu kekuatan berupa batiniah. Batiniah yang dimaksud di sini berupa pemahaman tentang Dhamma. Jika seseorang memiliki pemahaman tentang Dhamma, maka batinnya tidak mudah goyah, tidak akan mudah tergoncang, sekalipun suatu saat akan berpisah dengan apa yang cintai. Berbeda halnya dengan orang pelit, orang kikir, jarang mau berbagai, jika suatu saat kehilangan apa yang dicintai, maka ia mudah stres, frustasi dan depresi. Oleh karena itu, berdana makanan mampu memberikan manfaat berupa kekuatan, baik secara psikis maupun batiniah.
Itulah keempat hasil atau manfaat dari kamma kebajikan berdana makanan. Dengan memperoleh keempat tersebut, seseorang hendaknya jangan lalai, jangan terlena, jangan terbuai. Semua itu pasti akan mengalami perubahan, akan mengalami kehancuran. Maka dari itu, apa yang kita dapatkan saat ini patut kita syukuri, patut kita apresiasi, patut kita gunakan waktu sebaik mungkin dengan praktik Dhamma. Jangan bermalas-malasan, jangan menunda ataupun menunggu kehidupan yang akan datang. Dhamma masih bisa kita pelajari, Dhamma masih bisa kita praktikkan. Selagi Dhamma bisa dipelajari dan dipraktikkan, tidak ada yang tidak bisa selagi kita mau berusaha untuk mencapai kebebasan akhir yaitu nibb?na. Akan tetapi, semua itu tergantung diri kita, sejauh mana kita mampu berjuang, sejauh mana kita mampu berusaha untuk semua itu.
Kesimpulan:
Terlahir sebagai manusia merupakan keberuntungan yang patut kita syukuri. Mengenal Dhamma juga patut kita syukuri. Dengan terlahir sebagai manusia dan juga mengenal Dhamma, kita bisa belajar dan mempraktikkan Dhamma. Salah satu praktik Dhamma yang populer adalah berdana makanan. Berdana makanan dapat memberikan manfaat yaitu umur panjang (?yu? deti), wajah cantik/tampan (va??a? deti), kebahagiaan (sukha? deti), kekuatan (bala? deti). Dengan memperoleh keempat manfaat tersebut, kita harus sadar bahwa semua itu didapatkan mampu menciptakan praktik Dhamma yang lebih tinggi, yaitu untuk pencapaian kebebasan akhir yaitu nibb?na.
Referensi:
Kitab Suci Dhammapada (The Buddhas Path of Wisdom). Singkawang: Bahussuta Society.
A?guttara Nik?ya 4:57, dikutip dari Kumpulan Khotbah Sang Buddha dari Kanon P?li, Oleh Bhikkhu Bodhi.
Sallekha Sutta, Oleh Mah?s? Say?daw.
Oleh: Bhikkhu Santaseno
Minggu, 17 November 2019