Berbahagia Di Atas Penderitaan Makhluk Lain, Patutkah?
Paradukkhūpadānena, attano sukham icchatiVerasaṁsaggasaṁsaṭṭho, verā so na parimuccati’tiBarang siapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan orang lain,maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian.(Dhammapada 291)
Manusia berbahagia tentu artinya adalah yang bersangkutan merasakan atau menikmati sendiri rasa bahagia yang dialami tersebut. Namun rasa bahagia yang dialami manusia itu tentu sudah pasti ada sebab atau asal mulanya. Bukankah demikian?
Merasa bahagia pada umumnya yang dicari dan dikejar manusia. Namun, sebetulnya meskipun berjuang sekuat apa pun dengan banyak berkorban tenaga, ternyata hanya lebih banyak lelah dan menderitanya daripada mendapatkan rasa bahagia sebagaimana yang diharapkan. Mengapa demikian? Karena ia sebagai pelaku memiliki pemahaman yang salah yaitu bilamana ia berhasil melakukan apa yang ia inginkan dengan cara melampiaskan segala energi yang ia miliki, merupakan sesuatu yang dapat membahagiakan dirinya sendiri. Untuk hal-hal demikian itu ada banyak kejadian yang dapat dilihat dalam kisah hidup sehari-hari.
Misalnya, ada orang tertentu nama misalnya Mr. M. merasa dirinya sangat hebat dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bikin siasat yang menurutnya sangat hebat untuk membahagiakan dirinya sendiri, secara politik maupun sosial bergerilya bagaimana menjatuhkan individu tertentu sebut saja Mr. A. Ia dapat merelakan/berani berkorban materi dengan cara membagibagikan materi yang dimiliki tersebut untuk meraih dukungan massa. Di satu sisi demikian, namun di sisi lain ia juga berbuat secara diam-diam bagaimana Mr. A bisa berubah menjadi tidak berdaya dalam posisinya sebagai orang yang mungkin tergolong sukses dan berpengaruh di masyarakat.
Ada orang yang merasa bahagia jika ia berhasil membunuh, menyakiti atau pun menyiksa orang atau makhluk lain. Seperti yang dikatakan dalam buku Pancasila Pancadhamma bahwa perbuatan yang terkait dengan sila pertama pancasila bukan hanya pembunuhan tapi juga menyakiti manusia lain dan menyiksa binatang. Perbuatan menyakiti memang belum menjadi pelanggaran sila pertama pancasila, namun jika tidak diwaspadai dapat menjurus ke arah pelanggaran. Demikian pula menyiksa binatang belum menjadi pelanggaran sila pertama namun juga dapat mengarah terjadinya pelanggaran itu.
Membunuh Binatang
Membunuh binatang sudah jelas termasuk pelanggaran sila pertama. Tapi membunuh binatang yang dipelihara oleh orang lain tentu lebih berat daripada membunuh binatang liar di hutan. Orang yang membunuh binatang milik orang lain melakukan dua kejahatan sekaligus, yaitu pelanggaran sila pertama (membunuh) dan juga melakukan pelanggaran sila kedua, yaitu pengambilan binatang milik orang lain itu. Hal ini jelas menimbulkan penderitaan bagi binatang yang dibunuh dan orang yang memiliki binatang itu.
Apakah dalam berbagai jenis pembunuhan binatang itu tidak ada yang seharusnya memang boleh dilakukan? Tentu pertanyaan ini tidak dijawab dengan kata boleh, namun mungkin ada hal-hal yang harus menjadi pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan. Seperti misalnya, apa tujuan, motif atau alasan-alasan yang dianggap cukup sehingga dilakukan pembunuhan terhadap binatang tertentu tersebut. Misalnya, untuk membela diri, untuk percobaan ilmiah demi kepentingan orang banyak, dsb. Intinya akan tergantung apakah perbuatan itu dilakukan karena didorong oleh keinginan jahat atau tidak. Niat atau keinginan yang menyertai perbuatan itulah yang akan menjadi titik awal mengarah ke akibat perbuatan. Penderitaan sudah pasti akan datang jika niat yang menyertai itu adalah jahat atau tidak baik.
Menyakiti Orang Lain
Memang ada orang tertentu justru merasa puas dan bahagia jika ia berhasil menyakiti orang lain yang mungkin ia sendiri benci (tidak sukai/tidak senangi). Orang yang senang atau malah merasa puas dan bahagia dengan menyakiti orang lain, mungkin disebabkan oleh perasaan benci yang berkembang dalam diri orang itu terhadap orang lain tersebut. Atau mungkin saja karena ia sendiri ada salah mengerti atau malah sangat tidak mengerti (avijja) terhadap hal tertentu, sehingga muncullah tindakan, sikap atau keputusan untuk menyakiti adalah sikap paling tepat baginya, meskipun hal itu sebetulnya adalah salah. Apakah ini yang disebut bahagia di atas penderitaan orang lain? Kita harus merenungkan hal ini secara mendalam, kira-kira ada niat apa dalam diri si pelaku itu sendiri.
Si pelaku hanya merasa bahagia di saat ia melakukan perbuatan menyakiti orang lain itu, tetapi ketika buah dari perbuatan itu telah masak/matang nanti dalam jangka waktu tertentu maka ia sendiri tetap akan menerima penderitaan. Setelah ia merasa puas hanya sesaat ia sedang berhasil menyakiti, namun kemudian ia tetap harus tertimpa/terkena penderitaan sebagai buah dari perbuatan menyakiti itu.
Menyiksa Binatang
Orang tertentu juga ada yang merasa sangat senang jika perbuatannya sendiri berhasil menyiksa binatang lain, apakah dengan memotong, menyayat atau memukul-mukul badan binatang itu, atau mungkin menyulutnya dengan api. Apakah ini terjadi karena yang bersangkutan ada rasa benci terhadap binatang itu? Dalam hal ini mungkin ada rasa benci, namun yang lebih cenderung ada mungkin adalah justru rasa senang menyiksa terhadap binatang itu. Kenapa rasa senang bisa muncul? Tentu itu terjadi disebabkan oleh kebodohan batin (moha) orang itu sebagai pelaku penyiksaan. Dengan perbuatan itu sangat jelas menimbulkan penderitaan bagi binatang itu. Semua itu intinya ada pada niat yang menyertai perbuatan itu. Niat baik atau buruk akan sangat tergantung apa kenyataannya.
Berkorban Demi Makhluk Lain
Daripada kita berbuat membahagiakan diri sendiri tapi ada orang lain yang menderita kemudian kita menjadi sasaran kebencian pihak lain, tentu lebih baik jika kita bisa berbuat sesuatu dengan mengorbankan tenaga, materi, dsb. yang kita miliki namun itu menjadi kebajikan terhadap pihak lain, tidak mendatangkan kerugian dan penderitaan. Jika kita dapat berbuat suatu pengorbanan yang tidak mendatangkan penderitaan untuk makhluk lain, adalah bukan perbuatan yang salah. Namun jika kita melakukan perbuatan yang bersifat mengundang kebencian, sebagaimana dikatakan dalam ayat Dhammapada 291 tersebut di atas, maka perbuatan itu sungguh sangat tercela dan tidak patut untuk dilakukan.
Sekian dan terima kasih
Marilah kita menjaga agar kita tetap waspada.
Bahan bacaan:
Pancasila Pancadhamma