Manusia Dewa
Appamādena maghavā, Devānaṁ seṭṭhanaṁ gatoAppamādaṁ pasaṁsanti, Pamādo garahito sadāDengan menyempurnakan kewasapadaan, Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa. Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji dan kelengahan akan selalu dicela.(Dhammapada, 30)
Manusia berasal dari kata Mano yang berarti pikiran, kesadaran atau dalam hal ini batin dan Ussa yang berarti yang telah maju atau berkembang dan maju. Manusia dalam pandangan agama Buddha dapat dibedakan dalam empat tipe atau jenis, yaitu:
1. Manussa-Tiracchano (manusia hewan, berbadan manusia berperilaku seperti hewan);
2. Manussa-Peto (Manusia setan, berbadan manusia berperilaku seperti setan);
3. Manussa-Manusso (Manusia yang betul-betul manusia), dan
4. Manussa-Devo (Manusia dewa, manusia yang berperilaku seperti dewa).
Berkenaan dengan judul yang penulis utarakan di atas yaitu Manusia Dewa, maka pembahasan kita lebih menitikberatkan manusia jenis yang keempat yaitu Manussa Devo atau Manusia Dewa.
Dalam Agama Buddha terdapat tiga pengertian dewa, pertama yang disebut sebagai Sammuti deva. Sammuti deva artinya dewa dalam arti konvensional. Misal seorang Raja yang memerintah dengan bijak, jujur mensejahterakan rakyatnya, memiliki sila yang baik, dermawan, sopan, dan sebagainya, wah itu adalah seorang (manusia) dewa.
Pengertian yang kedua adalah opapatika deva, artinya adalah makhluk yang terlahir secara spontan di alam kedewaan sesuai dengan tingkatan kebajikan makhluk tersebut.
Pengertian yang ketiga adalah Visuddhi deva, yang artinya mereka yang terbebas dari kekotoran batin yaitu para Buddha dan Arahat.
Dalam Dhammapada Atthakatha syair 30 diceritakan perbuatan-perbuatan seperti apa yang membuat seseorang bisa tumimbal lahir di alam dewa.
Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapaha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab, Mahali, Aku mengenal Sakka, Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka. Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali, bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.
Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban.
Tujuh kewajiban tersebut adalah:
1. Dia akan merawat kedua orang tuanya;
2. Dia akan menghormati orang yang lebih tua;
3. Dia akan berkata sopan;
4. Dia akan menghindari membicarakan orang lain;
5. Dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati;
6. Dia akan berkata jujur; dan
7. Dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.
Karena kelakuannya yang baik, dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau, Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.
Dalam Dhammapada syair 16: Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira, pelaku kebajikan bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita karena melihat perbuatannya sendiri yang bersih. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Referensi :
- Dhammapada, Bahussuta Society
- www.samaggi-phala.or.id