Pelindung Sejati
“Attā hi attano nātho, ko hi nātho paro siyā,Attanā hi sudantena, nāthaṁ labhati dullabhaṁ’ti.”Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.(Dhammapada, Atta vagga 160)
Baru-baru ini kita mendengar dan melihat peristiwa yang cukup membuat jantung berdetak kencang disebabkan trauma sebagian umat Buddha etnis Tionghoa akan adanya demo yang dilakukan di Monas. Sehingga banyak diantaranya yang sudah memesan tiket tujuan luar negeri. Kebanyakan dari mereka merasa takut akan terulang kembali kasus seperti tahun 1998. Memang secara catatan sejarah, pada masa itu cukup banyak yang meninggal. Namun, peristiwa itu sudah menjadi suatu catatan kelam dalam sejarah NKRI. Saat ini, masa itu telah berlalu dengan pemerintah serta sistem-sistem pemerintahan yang baru.
Hendaknya pola pikir kita pun ikut diperbaharui. Sehingga akan ada keselarasan dalam kehidupan sehari-hari kita untuk menikmati kerja pemerintahan. Pemerintah tentu tidak selalu sama dalam setiap masa jabatan yang diisi oleh orang yang berlainan. Jangankan orang yang berlainan keluarga, yang satu kandungan pun pasti berbeda. Tidak bisa sama persis dalam segala hal. Jadi kita diharapkan dapat berpikir luas dalam menghadapi berbagai persoalan di dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita berpikiran sempit, maka kita akan menderita oleh buah pikir kita sendiri.
Hal tersebut sudah selayaknya kita perhatikan, karena itu merupakan syarat yang cukup menentukan untuk kita tetap menjalani kehidupan dengan tenang dan damai tanpa perasaan gelisah, khawatir, dan lain sebagainya. Namun untuk memiliki pengertian demikian tidaklah mudah. Mengapa? Karena hal tersebut sangat berlawanan dengan keinginan seseorang yang maunya instan atau serba cepat. Tetapi hal tersebut tidaklah bisa, karena segala sesuatu yang akan kita capai atau peroleh memerlukan proses. Proses itu dapat berjalan cepat atau tidak, bergantung dari semangat atau tidaknya usaha yang dilakukan. Kalau usaha yang dilakukan cenderung lambat, santai, dan lain-lain, maka hasilnya pun akan sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Demikian pula dengan orang berbuat kebajikan. Jika seseorang malas, bosan, dan lain sebagainya dalam berbuat kebajikan, maka hasil atau buah dari kebajikan itu pun akan lambat, jarang-jarang, dan lain sebagainya juga untuk berbuah atau dinikmati di kehidupan kita. Kebajikan itu sesungguhnya selalu kita nikmati dalam setiap kehidupan kita, tetapi kebanyakan orang menganggap bahwa ia belum sama sekali menikmati jasa kebajikan yang ia perbuat selama ini. Memang seperti yang Buddha katakan di dalam syair Dhammapada: Sebelum buah dari karma baiknya ia nikmati, orang dungu menganggap bahwa tidak ada buah dari jasa kebajikan yang ia perbuat. Demikian pula sebaliknya: Sebelum buah dari karma buruknya berbuah, orang dungu menganggap tidak ada akibat dari perbuatan buruknya. Dari kedua syair ini, kita bisa mengambil makna dan sekaligus menjadi pengingat bagi diri kita untuk memiliki keyakinan yang kuat. Maksudnya apa? Kita diharapkan untuk memiliki keyakinan yang kuat akan pencapaian pencerahan Sang Buddha dan hukum karma.
Dengan kita memiliki keyakinan yang kuat akan pencapaian penerangan sempurna sang Buddha, maka kita akan yakin juga pada apa yang Beliau ajarkan. Kalau kita tidak yakin pada pencerahan sempurna Beliau, mana mungkin kita akan mengikuti apa yang Beliau ajarkan. Mengapa? Karena kita masih ragu-ragu pada sosok yang kita ikuti ajarannya. Contohnya saja ketika ada seorang peramal yang dikatakan ahli meramal, dan selalu setiap orang yang datang kepadanya mengalami hal yang sesuai dengan apa yang dikatakan. Lalu kita diberitahu oleh salah satu orang yang mempercayai kata-kata peramal itu, karena kita tidak punya keyakinan pada peramal itu, maka kita tidak mungkin akan berusaha untuk mencoba datang kepadanya. Tetapi apabila sebaliknya, kita yakin dan percaya bahwa peramal itu memang benar-benar mahir dan sudah terbukti dari pengalaman-pengalaman orang lain, tentu kita akan mencoba membuktikan sendiri ke sana. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena kecenderungan seseorang akan selalu tertarik dan tergiur pada apa yang sudah banyak orang nikmati. Apalagi hal yang membawa pada sesuatu yang membawa keuntungan dan kebahagiaan.
Demikian pula dengan memiliki keyakinan pada hukum karma. Ketika kita yakin pada apa yang kita perbuat, baik atau pun buruk akan membuahkan hasil yang sesuai. Maka kita akan lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap tindakan. Ketika kita lengah serta kurang waspada, bisa saja kita akan terjerumus pada tindakan yang menyebabkan kita mendapatkan ketidakberuntungan. Oleh karena itu, kalau kita mempunyai keyakinan terhadap hukum karma, maka kita tidak akan berbuat semau dan sesuka hati kita yang mungkin saja dapat menyebabkan makhluk lain rugi atau menderita. Jika kita tidak dapat melindungi makhluk lain dari perbuatan buruk yang kita lakukan, maka kita pun secara tidak langsung juga tidak membuat perlindungan bagi diri kita sendiri. Tetapi apabila kita dapat melindungi makhluk lain dari perbuatan buruk kita, maka kita juga sesungguhnya telah membuat perlindungan bagi diri sendiri. Perlindungan muncul bukan tiba-tiba, tetapi harus dibuat terlebih dahulu sebabnya. Kalau sebabnya tidak ada, mana mungkin akan ada akibatnya. Inilah hukum alam yang tidak dapat ditawar menawar atau ditukar maupun tertukar.
Dalam Agama Buddha, kita memiliki tiga perlindungan atau Sara?a. Yang mana tiga perlindungan ini pun sering diulang pada saat pembacaan paritta, pemberian s?la, bahkan merupakan bagian dari cara pentahbisan Sama?era, Atthasilani, maupun Bhikkhu. Kalimat perlindungan ini muncul untuk mengingatkan para siswa sang Buddha, baik itu Bhikkhu, Sama?era, Atthasilani, Upasaka/upasika untuk mendapatkan rasa memiliki akan tiga permata yang berharga tiada taranya di alam semesta ini. Yang sangat jarang kemunculannya di setiap kehidupan. Oleh karena itu, tiga perlindungan ini bukan hanya dibaca setiap saat saja tanpa makna atau bahkan disalahartikan. Tetapi menjadi motivasi atau pendorong kita untuk bersemangat mempraktikkan ajaran mulia guna meningkatkan potensi diri dan mengantarkan pada kebahagiaan sejati (Nibb?na).
Makna tiga perlindungan itu adalah;
1.Buddha? sara?a? gacch?mi (Saya pergi berlindung kepada Buddha)
2.Dhamma? sara?a? gacch?mi (Saya pergi berlindung kepada Dhamma)
3.Sa?gha? sara?a? gacch?mi (Saya pergi berlindung kepada Sagha)
Jadi sesungguhnya perlindungan yang sejati itu bukanlah dari luar diri yang kita selalu cari kemana-mana. Tetapi perlindungan sejati itu muncul ketika kita membuat sebabnya di dalam diri kita sendiri. Jika kita tidak pernah membuat sebab untuk kita terlindungi, maka mau kita harap bagaimana pun, perlindungan yang diharapkan tidak akan muncul. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang yang menginginkan perlindungan. Agar ia tidak keliru mencari-cari perlindungan yang ia anggap pelindung sejati. Yang mungkin saja pada kenyataannya akan membawa pada ketidakberuntungan, penyesalan, dan penderitaan di kemudian hari. Inilah salah satu manfaat mendengarkan Dhamma yaitu mengetahui yang belum pernah diketahui. Belajar Dhamma juga bukan hanya sekedar paham secara teori, tetapi lanjutkan dengan praktik. Agar kita dapat memperoleh hasilnya. Dan juga, janganlah cepat merasa puas dengan apa yang diperoleh saat ini, justru kita harus lebih waspada. Agar kita tidak terbuai oleh perolehan itu sehingga lupa membuat sebab kembali supaya muncul lagi di masa yang akan datang. Marilah kita bersama-sama praktik ajaran sang Buddha yang mulia ini, yang membawa pada pencapaian tertinggi yaitu terbebasnya penderitaan secara total. Semoga kita terus maju dalam Dhamma.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Referensi:
-Dhammapada (Pali) edisi Chatta Sa?ghayana.
-Dhammapada (terjemahan) edisi Bahusutta Society.