THE BASIC IN THE NEW NORMAL
Yathāpi ruciraṁ pupphaṁ, vaṇṇavantaṁ sugandhakaṁ.Evaṁ subhāsitā vācā, saphalā hoti kubbato.(Laksana bunga indah berwarna-warni dan berbau harum, demikianlah pepatah indah mendatangkan buah bagi yang menjalankannya)(Dhammapada, 52)
Tatanan baru telah digaungkan oleh pemerintah dan masyarakat pada masa ini, kita dibiasakan untuk memulai sebuah kehidupan yang baru yang berbeda dengan kehidupan yang pernah kita alami sebelumnya. Pada umumnya, istilah kehidupan normal yang baru yang sering kita dengar adalah jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan jaga kesehatan. Di banyak negara, protokol kesehatan yang dijalankan bisa berbeda tetapi tetap pada dasar yang sama yaitu menjaga kesehatan masyarakat. Pada intinya kita dibiasakan untuk hidup produktif yang digandengkan dengan hidup sehat.
Sebenarnya tatanan baru dunia tidak hanya sebatas hidup produktif dengan hidup sehat, tatanan dunia baru saat ini melibatkan dunia digital. Digital ekonomi, digital payment, digital living, digital politik, dan lain-lain adalah cara hidup digital saat ini yang sudah menjadi kebiasaan bagi kaum millennial yang sudah terbiasa terkoneksi dengan dunia digital. Cara hidup ini berbeda-beda tetapi mempunyai dasar yang sama yaitu memudahkan kehidupan manusia. Semua perubahan tersebut dimulai dengan adanya revolusi industri. Revolusi industri adalah kemajuan manusia secara sains untuk memudahkan cara hidupnya, mulai dari penemuan mesin uap, pemakaian tenaga listrik, produksi massal dengan tenaga listrik, pemakaian tenaga robot, data server dan clouding, serta otomatisasi solusi permasalahan adalah beberapa kemajuan manusia yang telah diadaptasi oleh manusia dalam tatanan baru dunia ini.
Hal tersebut adalah bagus jika dibarengi dengan kemajuan spiritual juga. Kemajuan sains dibarengi dengan kemajuan spiritual akan menghasilkan sebuah kemajuan yang sangat baik oleh generasi manusia. Kemajuan spiritual bisa dicapai jika manusia masih mengingat atau memiliki skill penuh dalam hal-hal yang dasar. Dalam Buddhisme, Sang Buddha menerapkan empat kebenaran mulia yang menjadi dasar dari ajaran Buddha. Empat kebenaran mulia ini sering diajarkan dengan cara yang berbeda tetapi mengandung makna yang sama, tidak berbeda sama sekali.
Ketika hal ini disampaikan, banyak yang bertanya mengapa ajaran Buddha disampaikan berbeda padahal mengandung dasar yang sama? Hal ini terjadi karena Dhamma disampaikan oleh pengalaman pribadi para pembabar Dhamma. Di zaman Sang Buddha hal ini pun terjadi, dalam Kimsuka Sutta dikisahkan ada seorang bhikkhu muda yang menemui Sang Buddha dan menceritakan tentang pertanyaan ia kepada beberapa bhikkhu. Ketika ia bertanya kepada beberapa bhikkhu tentang cara mencapai kesucian, para bhikkhu tersebut memberikan jawaban yang berbeda. Salah satu bhikkhu tersebut menjawab dengan memahami lima gugusan, seseorang akan mendapatkan pemahaman yang jelas, pemahaman yang bersih dengan memahami jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan pikiran, dan kesadaran. Mendapatkan jawaban yang kurang memuaskan, ia bertanya kepada bhikkhu yang lain dan bertanya hal yang sama, jawaban yang diberikan adalah seseorang harus memahami enam landasan indera, ia tidak puas lagi, lantas ia bertanya kepada bhikkhu yang lain lagi, jawaban yang diberikan adalah seseorang harus me-mahami empat unsur materi. Bhikkhu yang lain memberikan jawaban seseorang harus memahami delapan belas unsur (a??har?sadhatu). Karena masih merasa tidak puas, ia menemui Sang Buddha.
Sang Buddha mengatakan bahwa semua yang disampaikan oleh para bhikkhu tersebut benar. Para bhikkhu tersebut sama-sama menembus empat kebenaran mulia dengan pengalaman pribadi mereka masing-masing. Dhamma sendiri telah dibabarkan oleh Sang Buddha dengan cara yang berbeda-beda (aneka pariyayena dhamma vutto bhagavata). Oleh karena itu, apa pun Dhamma yang dibabarkan semua mengandung dasar yang sama yaitu empat kebenaran mulia. Dengan seseorang memahami akan hal ini, maka ia tidak terjebak dalam pandangan saya paling benar, yang lain salah.
Dengan memahami hal yang telah disampaikan di atas, seseorang bisa menerapkan hal tersebut di kehidupan normal yang baru tanpa rasa mengeluh terhadap perubahan yang terjadi, apa pun perubahan yang terjadi di dunia ini semua hal tersebut harus dipahami sebagai suatu kewajaran yang terjadi. Itulah yang menjadi dasar seseorang untuk mampu hidup di dalam kenormalan yang baru.
Referensi:
Bhikkhu Bodhi. 2003. The connected discourses of the Buddha: A Translation of the Sa?yutta Nik?ya. Wisdom Publications.