Kesiapan Mental Menghadapi Perubahan
Uppanno kho me ayaṁ lābho, so ca kho anicco dukkhovipariṇāmadhammo’ti, yathābhātaṁ nappajānāti.Perolehan yang telah datang padaku ini tidak kekal,menyatu dengan penderitaan, pasti akan mengalami perubahan.(Aṅguttara Nikāya 8.6, Dutiyalokadhamma Sutta)
Sebagian besar orang menentang perubahan, khususnya bila perubahan itu mempengaruhi mereka secara pribadi, seperti penuaan, kerugian, sampai pada perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Kenyataan yang begitu ironis bahwa perubahan itu tidak dapat dihindari. Semua orang harus berhadapan dengan perubahan. Setiap orang ingin mengubah dunia, tetapi tidak seorangpun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri, yaitu diawali dengan mengubah pola pikir ke arah yang benar (samm?-sa?kappa).
Ketika orang-orang dihadapkan pada perubahan, khusunya perubahan ke arah kurang mengenakkan, mereka akan berhadapan dengan emosi. Kita hanya memiliki dua pilihan ketika berbicara mengenai emosi: kita dapat mengendalikan emosi atau justru dikendalikan oleh emosi itu sendiri.
Semakin lebar kesenjangan antara apa yang kita bayangkan dengan realitas yang ada, maka akan semakin besar pula kemungkinan kita untuk lebih sering kecewa. Apa maksudnya? Maknanya bahwa berpikir itu mudah, bertindak itu sulit, dan menerapkan hasil pemikiran menjadi sebuah tindakan nyata itulah merupakan hal yang paling sulit di dunia ini. Maka dari itu, Sang Buddha mengajak kita untuk memandang dunia ini dari sudut pandang yang realistis, bukan optimistis tanpa pijakan kuat yang akan berujung pada keputusasaan, ataupun sikap pesimis yang berhenti pada ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri sendiri.
Jenis-Jenis Mentalitas
Dalam A?guttara Nik?ya 3.25, Vajir?pama Sutta membahas tentang tiga jenis mentalitas dari manusia.
Ada tiga jenis manusia yangterdapat di dunia ini. Apakah yang tiga itu? Ada manusia dengan pikiran seperti luka menganga (aruk?pamacitto puggalo), manusia dengan pikiran seperti kilat (vijj?pamacitto puggalo), manusia dengan pikiran seperti berlian(vajir?-pamacitto puggalo).
Seperti apakah manusia yang memiliki pikiran seperti luka menganga? Dia adalah orang yang cepat naik darah dan mudah jengkel. Jika dikritik sedikit saja, dia sudah kehilangan kesabaran, lalu menjadi marah dan jengkel; dia keras kepala dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Persis seperti, misalnya, luka bernanah yang jika dipukul dengan tongkat atau pecahan tanah liat akan mengeluarkan lebih banyak nanah, demikian juga orang yang cepat naik darah dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Orang seperti inidikatakan memiliki pikiran seperti luka menganga.
Seperti apakah manusia yang memiliki pikiran seperti kilat? Dia adalah orang yang memahami sebagaimana adanya, "Inilah penderitaan"; "Inilah asal mula penderitaan"; "Inilah berhentinya penderitaan"; "Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan." Sama seperti orang yang baik penglihatannya akan dapat melihat objek di dalam kegelapan malam lewat sinar kilat, demikian pula orang yang memahami Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Orang seperti ini dikatakan memiliki pikiran seperti kilat.
Seperti apakah manusia dengan pikiran seperti berlian? Dia adalah orang yang lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga, masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tanpa noda, pembebasan lewat kebijaksanaan, karena dia telah merealisasikannya bagi dirinya sendiri lewat pengetahuan langsung. Sama seperti tidak ada yang tidak dapat dipotong oleh berlian - entah itu batu permata lain atau batu karang demikian pula orang itu, lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga, masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tanpa noda, pembebasan lewat kebijaksanaan, karena dia telah merealisasikannya bagi dirinya sendiri lewat pengetahuan langsung. Orang seperti ini dikatakan memiliki pikiran seperti berlian.
Memahami Realitas Kehidupan
Kemelekatan yang ada pada pribadi setiap orang diibaratkan seperti seekor ular yang telah berhasil menangkap seekor katak. Ular tersebut tidak akan melepaskan katak yang sudah ditangkap sampai akhirnya katak itu mati. Sederhananya, ketika kita memperoleh suatu hal yang kita inginkan, secara langsung kita akan melekatinya dengan erat, karena telah melekat, maka ketika kehilangan objek yang dilekatinya itu kita akan menjadi begitu menderita. Sedangkan, realita yang harus kita hadapi adalah dunia ini terkurung oleh kematian, berdiri di atas penderitaan, terjerat oleh ketagihan, terbungkus oleh usia-tua.
Di dalam kemalangan (perubahan yang terjadi), maka ketabahan seseorang dapat diketahui. Ada orang yang menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan, tetapi dia tidak merenungkan demikian: "Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat alami kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu: untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita." Tanpa mempertimbangkan hal ini, dia berduka dan khawatir, dia meratap dan memukuli dadanya, dan menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan, atau kesehatannya.
Dalam kasus lain, ketika seseorang menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan, dia merenungkan demikian: "Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat alami kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu: untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita." Dengan mempertimbangkan hal ini, dia tidak berduka atau khawatir, atau meratap dan memukuli dadanya, atau menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan.
Kemurahan Hati: Melepas tanpa Mengharapkan Imbalan
Apakah harta dari kemurahan hati? Hal ini lebih mengarah kepada kesadaran seseorang yang bersih dari noda kekikiran, murah hati tanpa paksaan, tangan terbuka, bersenang dalam memaafkan, tanggap terhadap permintaan-permintaan, bersuka cita dalam membagikan dana makanan. Kemelekatan dapat secara berangsur-angsur ditekan berkat ada kemurahan hati. Kita melatih untuk melepas, tanpa harapan imbalan sebagai balas jasa karena kita cukup yakin bahwa berbagai pemberian yang diberikan dengan ketulusan hati, akan membuahkan kebahagiaan bagi kita dan orang lain.
Kesimpulan
Jadi, dengan memahami realita kehidupan ini yang penuh dengan perubahan, maka kita harus mempersiapkan mental yang dewasa dan berani untuk menghadapi perubahan. Jika kita terluka parah dalam kehidupan ini, mulailah mengakui kepedihan dan dukacita itu dari setiap kehilangan yang telah kita alami. Dengan melakukan itu, hari ini dapat menjadi hari kita untuk mengubah kepedihan masa lalu kita melalui terobosan menuju masa depan. Tragedi tidak harus menghambat seseorang memiliki harapan yang positif, menjadi produktif, dan menjalani kehidupan sepenuhnya. Segelap apapun masa lalu kita, hal itu tidak perlu mewarnai masa kini untuk selamanya.
Referensi:
A?guttara Nik?ya 8.6, Dutiyalokadhamma Sutta
A?guttara Nik?ya 3.25, Vajir?pama Sutta
A?guttara Nik?ya a 4.192, Th?na Sutta
A?guttara Nik?ya 7.6, Dhana Sutta
Sa?yutta Nik?ya 1.68, Pihita Sutta