Implementasi Ajaran Buddha Dalam Kriteria Pendidikan
Dhīrañ ca paññañ ca bahusuttañ ca, dhorayhasīlaṁ vatavantaṁ āriyaṁTaṁ tādisaṁ sappurisaṁ sumedhaṁ, bhajetha nakkhattapathaṁ’va candimāIkutilah orang yang pandai, bijaksana, terpelajar, tekun, patuh, dan mulia.Hendaklah engkau selalu dekat dengan orang yang bajik dan pandai seperti itu,Bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang.(Syair Dhammapada Sukha Vagga, 208)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samm?sambuddhassa
Perjalanan kehidupan kita saat ini tentu akan menemukan berbagai jenis orang yang ditentukan dari sikapnya saat berbicara. Terkadang orang tersebut berbicara dengan sangat pandai, terkadang juga orang tersebut berbicara dengan kebijaksanaannya. Tetapi, terkadang pula ada orang yang berbicara dengan sangat pandainya sampai akhirnya ia merasa paling pandai di dalam suatu komunitas atau kelompok tersebut. Sebenarnya, Apakah yang mempengaruhi setiap karakter seseorang mampu berbicara dengan kepandaian dan kebijaksanaan? Apakah pengalaman di dalam kehidupan sehari-harinya mampu membentuk karakter dan kepribadian setiap orang? Bagaimanakah dengan pendidikannya? Apakah mampu untuk membuat orang tersebut menjadi pandai dan bijaksana?
Dalam agama Buddha, filosofis pendidikan dimulai dari Pangeran Siddharta yang mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha. Mengapa dikatakan demikian? Sang Buddha merupakan seorang guru para dewa dan manusia (satth? devamanuss?na?). Sebagai seorang guru, Sang Buddha telah mengajar para dewa dan manusia melalui berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamupp?da), Sang Buddha menempatkan di urutan pertama yaitu ketidaktahuan (avijj?). Seperti yang terdapat dalam syair Dhammapada 243: Yang terburuk dari semua noda adalah kebodohan (avijj?). Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. O para bhikkhu, singkirkanlah noda ini dan hiduplah tanpa noda.
Sang Buddha juga mengatakan, belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha menjelaskan betapa pentingnya setiap orang harus belajar di dalam setiap kehidupan, hal ini tertulis di dalam syair Dhammapada 152: Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang. Selaras dengan perkembangan jaman sekarang, pendidikan merupakan tolok ukur bagi seseorang yang ingin sukses dalam menjalani kehidupannya dan tidak mau menderita di dalam kehidupannya. Pendidikan yang dikatakan sukses ketika setiap orang memperoleh nilai yang baik, pengetahuan yang banyak, kemampuan dalam segala bidang ia terampil, disertai sikap dan tingkah laku yang mulia. Seperti yang tertulis dalam syair Ma?gala Sutta: Memiliki pengetahuan yang luas disertai keterampilan akan memperoleh suatu berkah. Setiap orang akan memiliki pengetahuan dan keterampilan ketika ia mau dan mampu untuk belajar seumur hidupnya.
Seseorang yang memperoleh pendidikan akan terlihat dari tingkat perkembangannya, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha. Dalam perkembangan manusia, Sang Buddha membedakan menjadi empat tingkatan yaitu: Pertama, jenius (ugghatitau), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Kedua, intelektual (vipacitau), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bungan teratai yang agak jauh di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air. Setelah memahami tingkat perkembangan seseorang dalam mem-peroleh pendidikan, hal yang harus kita ketahui selanjutnya adalah Bagaimana cara seseorang memulai pendidikannya sesuai dengan Dhamma? Serta Bagaimanakah pendidikan yang sesuai dengan kriteria ajaran Buddha? Seseorang yang mendidik disertai peranannya untuk mentransfer segala bentuk pengetahuan, informasi, dan keahliannya kepada peserta didik diartikan sebagai guru. Seorang guru yang profesional dalam agama Buddha ketika adanya hubungan yang harmonis serta memperlakukan muridnya seperti anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orangtuanya sendiri. Dengan demikian, antara guru dan murid akan dipersatukan dengan sikap saling menghormati dan hidup dalam kebersamaan, sehingga mendapat peningkatan dan kemajuan dalam Dhamma dan Vinaya (Vinaya Pitaka IV, 45).
Setiap orang mampu untuk memperoleh pendidikan sesuai Dhamma yang diawali dari orang tua kita. Orang tua merupakan guru awal yang menjadi teladan bagi anak-anaknya. Pola pendidikan yang telah diberikan oleh orang tua sejak awal dalam Buddha Dhamma bukan hanya ketika seorang anak yang dikandung sudah terlahir sampai dewasa atau sampai meninggal. Namun, proses pendidikan yang dimaksud ialah pendidikan yang dimulai sejak anak lahir, mereka akan meniru apa saja yang telah mereka dengar, mereka lihat, dan mereka rasakan dari lingkungan sekitar mereka. Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga. Anak-anak akan belajar langsung dari orangtuanya, berbicara, bergerak, makan, minum, dan berbagai aktivitas lainnya.
Seorang anak sejak dalam kandungan, orangtua terutama ibu akan mencurahkan sebagian besar perhatiannya agar anak yang masih dikandungnya merasa nyaman. Seorang ibu dengan hati-hati dalam bergerak dan beraktivitas. Ia bahkan seringkali menahan untuk tidak mengkonsumsi makanan favoritnya agar perkembangan bayi tidak terganggu. Kemudian, momen yang paling besar dan terberat ketika seorang ibu melahirkan anaknya. Ibu bertaruh nyawa demi keselamatan anaknya. Selain faktor-faktor tersebut, Sang Buddha juga menjelaskan faktor dasar peranan awal orang tua dalam mendidik anak-anaknya dimulai dari kemunculan atau pertemuan antara ayah dan ibu (m?t?pitaro ca sannipatit? honti), kemudian saat seorang Ibu dalam keadaan subur (m?t? ca utun? hoti), sehingga adanya makhluk (gandhabbo ca paccupa??hita hoti) (MN II, Mah?ta?h?sankhaya Sutta hal 725-748).
Selanjutnya, ialah pendidikan yang sesuai dengan kriteria ajaran Buddha ketika seseorang mampu belajar dan berjuang untuk menjadi pandai dan bijaksana. Dalam mencapai kepandaian dan kebijaksanaan, seseorang harus memiliki tiga cara yang dapat dilakukan agar memiliki pengetahuan yang luas disertai dengan tata susila sehingga memperoleh kebijaksanaan. Diantaranya yaitu melalui berpikir (cint?may? paa), melalui membaca, mendengar, melihat, dan belajar hal lainnya (sutamay? paa), dan melalui praktik meditasi atau pengalaman langsung (bh?van?may? paa) (D?gh? Nik?ya III, Sa?giti Sutta, 220). Kedua cara pertama ini akan memberikan kebijaksanaan sebatas intelektualitas saja, bila seseorang pahami, secara mendalam dapat menyebabkan seseorang tersebut memiliki kebijaksanaan yang menjauhkan dari praktik Dhamma.
Dengan demikian, semua orangtua yang telah berharap anak-anaknya kelak menjadi pribadi yang sukses dalam hidup, akan berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan terbaik. Untuk membantu anak berhasil dalam kehidupannya kelak, orang tua perlu mencermati hal-hal mendasar yang dibutuhkan anak sebagai fondasi keberhasilan hidup. Hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan antara lain adalah konsep diri, sikap, kepribadian, karakter, nilai hidup, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan, kemampuan komunikasi yang baik, kedisiplinan, dan motivasi yang tinggi.
Secara ringkas, kesimpulan di akhir ceramah saya adalah setiap orangtua akan memperhatikan anaknya dalam hal berikut: orang tua yang bijaksana akan membantu anaknya mengenali dirinya (kekuatan maupun kelemahannya), membantu anaknya untuk mengembangkan potensi yang sesuai bakat dan minatnya, membantu meletakkan fondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anaknya, dan membantu anaknya untuk merancang tujuan hidupnya setelah pendidikannya selesai. Dengan masa depan anaknya yang sesuai dengan tujuan hidupnya, maka karier atau pekerjaan akan dicapai sehingga ia disebut sebagai anak yang tekun dan patuh terhadap pekerjaan yang dicapainya.