HIDUP ADALAH PERUBAHAN
Kāmato jāyatī soko, kāmato jāyatī bhayaṁkāmato vippamuttassa, natthi soko kuto bhayaṁDari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan,bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi kesedihan ataupun ketakutan.(Syair Dhammapada Piya Vagga, 215)
Kehidupan kita dalam dunia yang modern sekarang ini, kondisi kehidupan material selalu membelenggu dalam hidup ini. Ibarat bunga mawar yang bermekaran dengan indahnya, mengeluarkan aroma harum, siapapun akan terpesona melihat keindahan dan keharumannya. Bunga mawar melambangkan keindahan hidup ini. Akan tetapi, pernahkah kita merenungkan duri dari bunga mawar itu? Mawar tumbuh dan mekar di atas tangkai yang penuh duri.
Bagi orang yang optimis, hidup ini hanya sekali sehingga perlu memanjakan nafsu keinginannya bagai keindahan dan harumnya bunga. Sebaliknya, bagi mereka yang pesimis hidup ini dipenuhi oleh duri bunga mawar yang tajam dan menyakitkan. Bagi mereka yang memandang realita, akan mampu mengerti keindahannya dan memandang sebagaimana adanya bunga mawar itu. Begitu pula dengan kondisi kehidupan duniawi yang kita hadapi saat ini, ada bahagia dan derita. Keinginan-keinginan yang terpenuhi di sanalah terdapat kata bahagia, sedangkan disaat gagal meraih impian di sanalah terdapat kata derita.
Bebas dari derita?, sebuah kalimat yang sederhana tapi sulit dilaksanakan atau bahkan sulit diterima, karena kita hidup di tengah majunya teknologi dan gemerlapnya dunia. Guru Agung Buddha mengajarkan Dhamma kepada kita agar dapat mengendalikan nafsu keinginan secara baik dengan berpikir secara realitis. Kita hendaknya memandang keinginan itu sesuai kemampuan dan kebutuhan dari masing-masing individu. Apa jadinya bila seorang yang berpenghasilan rendah menginginkan sebuah mobil atau rumah mewah? Haruskah hidupnya selalu dikejar oleh utang, karena memaksakan dirinya untuk membeli materi tersebut? Orang seperti ini akan terbelenggu dalam kehidupan ini. Penderitaan yang dialami oleh tiap orang bersumber pada kecemasan dan ketakutan yang terjadi pada mentalnya. Ada 4 sebab mengapa kita cemas dan takut, yang terdapat dalam Aguttara Nik?ya, IV. 184 yaitu:
1.Melekat terhadap kesenangan indria
Kesenangan ini diterima melalui kontak antara enam landasan indria dengan objeknya yaitu; mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah mengecap rasa, jasmani/tubuh kontak dengan sentuhan, dan pikiran apa yang dipikirkan. Benar adanya setiap manusia mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi, tetapi di balik kesenangan itu terdapat penderitaan karena kita terlalu melekat padanya, sehingga rasa cemas inipun akan muncul. Semakin banyak materi yang dimiliki, semakin besar pula kecemasan yang dipikul. Banyak orang mengalami ketakutan saat kematian tiba, ini timbul karena kemelekatan pada kesenangan indria.
2.Melekat terhadap jasmani
Tubuh yang sehat dan segar adalah dambaan setiap orang. Ada yang rela sampai mengeluarkan banyak uang untuk membuat tubuhnya menjadi indah dan menarik. Tetapi bagaimanapun indahnya, tubuh ini akan mengalami pelapukan. Perubahan ini sesuai dengan sifat alamiah dalam kehidupan ini. Banyak di antara mereka menjadi cemas, tatkala melihat uban yang mulai tumbuh di kulit kepala, kulit yang mulai nampak keriput, serta perubahan yang terjadi pada organ tubuh.
3.Tidak ada bekal perbuatan baik
Dikatakan dalam Sutta, Hidup sebagai manusia adalah Berkah Utama, apalagi dapat mengenal Dhamma dalam kehidupan ini. Di dunia ini, kita dapat melakukan berbagai kebajikan dalam kehidupan sekarang. Namun sebagian orang tidak menyadarinya dan mengisi kehidupannya dengan mencari kesenangan-kesenangan indria semata. Ketika penyakit datang dan kehidupannya akan berakhir, baru timbul rasa penyesalan dalam mental ini. Mengapa dulu saya tidak melakukan perbuatan baik?, orang ini akan merasa cemas dan takut karena tidak memiliki bekal perbuatan baik yang akan menuntunnya dalam kehidupan mendatang. Kasus ini sering terjadi dalam masyarakat.
4.Memiliki keraguan dalam Dhamma
Kehidupan ini tidak terlepas dari tradisi-tradisi, masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda pula. Ada tradisi yang bermanfaat dan ada juga yang tidak bermanfaat. Beberapa tradisi bisa membuat seseorang menjadi cemas. Kemelekatan terhadap tradisi tanpa didasari penyelidikan akan membuat kita percaya secara membuta, sehingga keyakinan pada Dhamma yang telah dipelajari akan timbul keragu-raguan. Hal ini dapat me-nyebabkan seseorang berpindah keyakinan.
Kecemasan dan ketakutan adalah penyakit mental yang bersumber pada pikiran. Namun ketika rasa cemas dan takut ini muncul, kita bisa melakukan perenungan kerap kali dalam pikiran ini. Ada 5 perenungan yang dapat dilakukan, terdapat dalam A?guttara Nik?ya, V. 57, yaitu:
1.Perenungan usia tua. Saya wajar mengalami usia tua, saya takkan mampu menghindari usia tua. Usia tua merupakan sarang penyakit dalam jasmani, yang tidak dapat dihindari oleh siapapun juga.
2.Perenungan penyakit. Saya wajar menyandang penyakit, saya takkan mampu menghindari penyakit. Sakit merupakan sebuah rentetan kehidupan bagi kita sebagai manusia.
3.Perenungan kematian. Saya wajar mengalami kematian, saya takkan mampu menghindari kematian. Setiap kelahiran pasti ada kematian. Kematian bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
4.Perenungan perubahan. Segala milikku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku.
5.Perenungan hukum kamma (perbuatan). Perbuatan apapun yang akan kulakukan, baik ataupun buruk: perbuatan itulah yang akan kuwarisi. Sesuai benih yang ditaburkan, begitulah buah yang akan dipetik. Pelaku kebajikan akan mendatangkan kebahagiaan, pelaku kejahatan akan menerima penderitaan. Inilah bunyi dari hukum kamma.
Hidup adalah perubahan, namun kehidupan yang bahagia sangat didambakan oleh setiap manusia. Yang menjadi penghalang hidup ini, karena munculnya nafsu keinginan yang tiada habis-habisnya. Keinginan untuk memper-tahankan materi, timbul dari kemelekatan terhadap kesenangan indria, semua ini terjadi karena adanya keserakahan dalam mental. Dengan pengertian Dhamma yang benar rasa cemas dan takut dapat kita atasi dalam kehidupan ini. Kehidupan ini tidak pasti, berjuanglah dengan sungguh-sungguh, pesan Guru Agung Buddha sebelum Parinibbana.
Sumber:
?Warta Tanah Putih Edisi 58 dan 60/2007
?Dhammapada terbitan Bahussuta Society