Magha Puja
- Puja Bakti Umum
- February 17, 2025
- 9 minutes read

Sabbapāpassa akaraṇaṁ, kusalassa upasampadā;
Sacittapariyodapanaṁ, etaṁ buddhāna sāsanaṁ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.
(Dhammapada, syair 183)
Ketika Dasabala mencapai kebijaksanaan yang maha tinggi untuk pertama kalinya, para siswanya bertambah banyak, dewa dan manusia tidak terhitung jumlahnya mengalami tumimbal lahir di alam menyenangkan dan benih kebajikan telah disebarkan, kehormatan dan anugerah yang besar diberikan pula kepada-Nya.
Para penganut ajaran yang lain sama seperti kunang-kunang setelah matahari terbit; mereka tidak memiliki kehormatan maupun anugerah. Mereka hanya berdiri di jalan dan berteriak kepada orang-orang, “Apa, apakah petapa Gotama adalah Sang Buddha? Kemudian mereka berkumpul bersama secara rahasia dan membahas: “Bagaimana caranya agar kita dapat menuang noda pada diri petapa Gotama di hadapan orang-orang untuk mengakhiri kehormatan dan anugerahnya?”
Pada waktu itu di kota Savatthi ada seorang petapa (pengembara) wanita bernama Ciñcamāṇavikā, yang berparas cantik, anggun, ramping, cahaya seperti memancar dari seluruh tubuhnya. Seseorang mengucapkan ide yang kejam seperti ini: “Dengan bantuan Ciñcamāṇavikā, kita akan menuangkan noda pada diri petapa Gotama dan mengakhiri kehormatan serta anugerah yang telah didapatkannya.”
Ciñcamāṇavikā datang ke tempat tinggal para penganut pandangan yang salah tersebut, menyapa mereka dan berdiri tegak. Mengapa Anda tidak mau berbicara kepada-ku?” Mereka menjawab, “Bhaginī (sapaan petapa wanita), apakah Anda tidak tahu bahwa petapa Gotama sedang menguasai situasi dan membuat kami terluka dengan mengambil semua kehormatan dan kebebasan yang seharusnya ditujukan kepada kami?”— “Saya tidak mengetahuinya, Guru, tetapi apa yang dapat saya lakukan?”—“Jika Anda menginginkan kami menjadi baik kembali, Bhaginī, dengan perbuatanmu sendiri tuanglah noda pada diri petapa Gotama untuk mengakhiri kehormatan dan anugerah yang telah diterimanya.
Setelah pertemuan mereka hari itu, Ciñcamāṇavikā menggunakan semua keahlian seorang wanita dalam tipuan. Ketika ditanya oleh siapa saja, “Anda hendak ke mana pada jam segini?” Ia akan menjawabnya, “Apa hubunganmu dengan ke mana saya hendak datang dan pergi?” Ia bermalam di tempat tinggal para penganut pandangan salah itu, yang dekat dengan Jetavana. Dan di pagi harinya, rombongan para upasaka datang dari kota untuk memberikan salamhormat kepada Sang Buddha di pagi hari, ia berjumpa dengan mereka seolah-olah seperti ia bermalam di Jetavana dan menuju ke kota.
Jika ditanya di mana ia bermalam, maka ia menjawab, “Apa hubunganmu dengan di mana saya bermalam?” Tetapi setelah enam bulan berlalu, ia menjawab, “Saya bermalam di Jetavana dengan petapa Gotama, di dalam Gandhakuṭi.
Kemudian ia mengumumkan, bahwa ia mengandung anak dari petapa Gotama dan membuat para pengikutnya percaya. Setelah delapan atau sembilan bulan, ia mengikat potongan kayu dalam sebuah bundelan di sekeliling jubah merahnya; kaki, tangan, dan punggungnya dipukul dengan tulang dari kerbau agar dapat menimbulkan kebengkakan; dan membuat seolah-olah semua inderanya merasa kelelahan.
Suatu sore, ketika Sang Tathagata sedang duduk di tempat ia membabarkan khotbah Dhamma, Ciñcamāṇavikā datang bersama kerumunan orang-orang dan dengan berdiri di hadapan Sang Tathagata berkata, “O petapa agung! Anda telah menghamili diriku dan waktu untuk melahirkan sudah dekat. Apakah tidak juga Anda minta para bhikkhu, Raja Kosala, atau Anathapindika, atau Visakha, upasika yang agung. Mengapa Anda tidak meminta salah satu dari mereka untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan untukku? Anda tahu bagaimana caranya bersenang-senang, tetapi tidak tahu bagaimana caranya menjaga keselamatan atas apa yang akan lahir nantinya!” Demikianlah ia mencerca Sang Tathagata di tengah berdirinya kerumunan orang, seperti seseorang yang berusaha mengotori permukaan bulan dengan tangan yang penuh kotoran.
Sang Tathagata menghentikan khotbah-Nya, dan dengan bersuara seperti seekor singa yang mengaum dengan suara nyaring, Beliau berkata, “Bhaginī, hanya kita berdua yang tahu apakah yang Anda katakan itu adalah benar atau salah.”
Persis waktu yang sama, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Setelah melihat keadaan, Sakka mengetahui Ciñcamāṇavikā sedang memberikan tuduhan palsu terhadap Sang Tathagata. Para dewa tersebut mengubah wujudnya menjadi tikus dan dengan segera menggerogoti tali yang mengikat bundelan potongan kayu tersebut dan bundelan kayu itu terjatuh di kakinya. Orang-orang berteriak “Seorang penyihir memfitnah Sang Buddha Yang Maha Tinggi!” Mereka meludah di kepalanya dan mengaraknya dari Jetavana menggunakan tongkat kayu dan gumpalan tanah di tangan mereka.
Dan ketika ia melewati Sang Tathagata, bumi ini terbuka dan membuat celah yang lebar, kobaran api muncul dari alam Neraka terendah dan Ciñcamāṇavikā terbungkus di dalamnya seperti mengenakan pakaian (yang terbuat dari wol) yang seharusnya dipakaikan padanya, terjatuh ke alam Neraka terendah dan mengalami tumimbal lahir berulang kali di sana. Kehormatan dan anugerah daripada para penganut ajaran lain tersebut pun tidak mereka dapatkan lagi, sedangkan kepunyaan Dasabala malah semakin berlimpah ruah.
Keesokan harinya, mereka berbicara di Dhammasabhā: “Āvuso, Ciñcamāṇavikā memberi tuduhan palsu terhadap Sang Buddha Yang Maha Tinggi, yang besar kebajikan-Nya, yang pantas menerima semua anugerah.” Sang Buddha berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, wanita tersebut memberikan tuduhan palsu terhadap diriku juga di masa lampau terjadi hal yang sama.”
Referensi:
Dhammapada, syair 183
Maha Paduma Jataka No . 472
Oleh: Bhikkhu Khemaviro Thera
Minggu, 02 Februari 2025