Naga Sutta
- Puja Bakti Umum
- July 14, 2024
- 9 minutes read
Varaṃ assatarā dantā, ājānīyā ca sindhavā
Kuñjarā ca mahānāgā, attadanto tato varaṃ.
“Sungguh baik keledai yang terlatih, begitu juga kuda Sindhu keturunan murni dan gajah perang milik para bangsawan; tetapi jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri.”
(Dhammapada 322)
Nāga adalah kelompok makhluk yang menyerupai naga dalam mitologi India yang dipercaya menghuni wilayah bawah tanah dan menjadi penjaga harta tersembunyi. Secara umum, nāga memiliki kesaktian mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya. Nāga termasuk dalam alam Surga Cātummahārājika, di bawah kekuasaan Virūpakkha yang menguasai bagian barat, seperti yang disebutkan dalam Mahāsamaya Sutta (DN 20).
Dalam literatur Buddhis, istilah Nāga atau Mahānāga memiliki banyak makna mewakili makhluk-makhluk besar dan perkasa, seperti gajah bergading, kuda, sapi jantan, ular, pohon, manusia, bahkan siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui tindakan, ucapan, dan pikiran atau dengan kata lain, juga mewakili Para Arahanta (AN 6.43).
Nāga Sutta (AN 4.114)
“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? Di sini, seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.
(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan? Di sini, tugas apapun yang diberikan oleh pelatih gajah kepadanya, apakah pernah dilakukan sebelumnya atau tidak, gajah jantan besar kerajaan itu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan.
(2) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia menghancurkan gajah-gajah dan para penunggang gajah; ia menghancurkan kuda-kuda dan para prajurit penunggang kuda; ia menghancurkan kereta-kereta dan para kusirnya; ia menghancurkan para prajurit pejalan kaki. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan.
(3) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia dengan sabar menahankan tusukan dan bacokan oleh tombak, pedang, anak panah, dan kapak; ia menahankan gelegar tambur, genderang, kulit kerang, dan gendang. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan.
(4) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian? Di sini, seekor gajah jantan besar kerajaan dengan cepat pergi ke wilayah mana pun yang sang pelatih mengirimnya, apakah pernah dikunjungi sebelumnya atau tidak. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian.
“Dengan memiliki keempat faktor ini seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.
“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu disebut layak menerima pemberian, layak menerima suguhan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.
(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan? Di sini, ketika Dhamma dan Vinaya yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan.
(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun yang muncul dari waktu ke waktu, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan.
(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan.
(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian? Di sini, seorang bhikkhu dengan cepat pergi ke wilayah yang belum pernah dikunjungi sebelumnya dalam waktu yang panjang ini, untuk menenangkan segala aktivitas, melepaskan segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian.
“Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu disebut layak menerima pemberian, layak menerima suguhan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”
Pustaka Rujukan:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Translated by Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Translated by Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 1995.
Oleh: Bhikkhu Ratanadhiro
Minggu, 14 Juli 2024