Strategi Bisnis Right Livelihood (Pencaharian Benar)

 Strategi Bisnis Right Livelihood (Pencaharian Benar)

“Sārattā kāmabhogesu, giddhā kāmesu mucchitā;

Atisāraṁ na bujjhanti, migā kūṭaṁva oḍḍitaṁ;

Pacchāsaṁ kaṭukaṁ hoti, vipāko hissa pāpako’ti”.

Penuh keinginan akan harta benda dan kesenangan, serakah, tergila-gila pada kenikmatan indria; mereka tidak menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh, seperti rusa yang jatuh ke dalam perangkap yang dipasang. Nanti akan terasa pahit; karena akibatnya akan buruk bagi mereka.

(Appakasutta: Saṁyutta Nikāya 3.6)

Posisi dan Fungsi Kekayaan dalam Agama Buddha

Kekayaan menempati posisi yang kompleks dalam agama Buddha. Dalam agama Buddha kekayaan sering dilihat melalui lensa penggunaan etis dan pahala spiritual daripada akumulasi belaka. Kekayaan tidak secara inheren dikutuk; sebaliknya, dipandang sebagai sumber potensial dari kehidupan lampau, meskipun keterikatan padanya dapat menyebabkan jebakan spritual (Sanetal., 2023:9). Pandangan beragam ini menyoroti pentingnya kekayaan dalam mendukung kegiatan keagamaan dan keterlibatan masyarakat, sementara juga memperingatkan terhadap bahaya keterikatan material dan hak istimewa (Abrahmskavunenko & Milligan, 2021:282). 

Agama Buddha sering kali dikaitkan dengan konsep kesederhanaan dan pelepasan duniawi, bukan berarti ajaran Buddha memandang kekayaan sebagai sesuatu yang sepenuhnya negatif. Buddha memberikan panduan yang mendalam tentang bagaimana seseorang seharusnya memandang, mengelola, dan menggunakan kekayaan dalam konteks kehidupan spiritual. Agama Buddha memandang kekayaan sebagai sarana untuk mendukung kehidupan dan tidak dianggap sebagai tujuan utama hidup. Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh hanya dari materi, melainkan dari pengembangan spiritual. Buddha mengatakan bahwa Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi (Dhp. 204). Buddha secara eksplisit menjelaskan bahwa kebahagiaan yang didapat dari kesenangan indrawi bersifat sementara dan tidak stabil. Buddha menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari pembebasan diri dari penderitaan, yang hanya bisa dicapai melalui pengembangan batin dan disiplin moral (M.II:92). Selain itu di dalam Sigalovada Sutta, Buddha memberikan petunjuk kepada seorang pemuda bernama Sigala tentang bagaimana cara mengelola harta kekayaan. Buddha menjelaskan bahwa kekayaan harus diperoleh dengan cara yang benar, tanpa merugikan orang lain, dan digunakan untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, serta masyarakat (D.III, 189).

Salah satu aspek penting dari pengelolaan kekayaan dalam agama Buddha adalah kedermawanan atau dāna. Berdana merupakan salah satu cara bagi umat awam menggunakan kekayaannya secara benar, dengan menolong makhluk lain yang membutuhkan. Sang Buddha menegaskan, kekayaan yang digunakan secara tepat tidak akan sia-sia (S.I.41-3). Kekayaan yang diberikan dengan ikhlas tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi, karena itu membantu dalam melembutkan hati, mengurangi keterikatan pada materi, dan menciptakan kebahagiaan batin. Buddha mengajarkan bahwa pemberian yang dilakukan dengan niat suci, tanpa mengharapkan imbalan, akan menghasilkan kebahagiaan jangka panjang baik di kehidupan ini maupun kehidupan mendatang (Dhp.224). Dana yang diberikan tanpa pengharapan apa pun, tidak dengan pikiran melekat, dan tanpa mengharapkan imbalan dapat membawa pada kelahiran di alam Brahma, yang pada akhirnya seseorang akan menjadi Yang-tidak-kembali (A.IV: 62- 63).

Bisnis dalam Agama Buddha dikenal dengan ajaran-Nya yang menekankan kehidupan yang penuh kebijaksanaan, moralitas, dan meditasi untuk mencapai pencerahan. Namun, Buddha juga memberikan panduan tentang aspek-aspek praktis kehidupan duniawi, termasuk mengenai bisnis dan bagaimana seorang pengusaha seharusnya menjalankan usahanya. Buddha tidak menolak kegiatan ekonomi, tetapi menekankan pentingnya mengelola bisnis dengan cara yang benar dan etis. Ajaran Buddha memberikan pedoman etis untuk praktik bisnis, menekankan penghidupan yang benar, kejujuran, dan tidak adanya eksploitasi (Bawono et al., 2023:112-3). Pendekatan ekonomi dalam ajaran Buddha menganjurkan keseimbangan antara kesejahteraan material dan spiritual, yang bertentangan dengan fokus kapitalisme pada akumulasi kekayaan (Bawono et al., 2023:144). Dalam ajaran Buddha, keseimbangan antara kesejahteraan material dan spiritual sangat penting, yang bertentangan dengan fokus kapitalisme pada akumulasi kekayaan yang sering kali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan. Dalam konteks Buddhis, kekayaan dianggap sah selama diperoleh dengan cara yang benar dan digunakan untuk mendukung kehidupan yang baik, seperti memenuhi kebutuhan dasar, membantu keluarga, dan berkontribusi pada kebaikan masyarakat. Buddha juga mengajarkan bagaimana cara memperoleh kekayaan dan menjalankan bisnis dengan baik yakni:


Bisnis dilakukan dengan Cara Benar Buddha

Dalam ulasan Sigalovada Sutta menguraikan tentang bagaimana seorang individu, termasuk pelaku bisnis, seharusnya memperoleh kekayaannya. Buddha menyatakan bahwa kekayaan sebaiknya diperoleh dengan cara yang benar, yaitu melalui usaha yang jujur dan tidak merugikan makhluk hidup lainnya. Buddha di dalam Sigalovada Sutta berbicara tentang bagaimana seorang individu, termasuk pelaku bisnis, seharusnya memperoleh kekayaan. Buddha menyatakan bahwa kekayaan sebaiknya diperoleh dengan cara yang benar, yaitu melalui usaha yang jujur dan tidak merugikan makhluk hidup lainnya (D.III, 189). Dalam konteks bisnis, hal ini berarti seorang pengusaha harus menjalankan usahanya dengan integritas, transparansi, dan keadilan. Sutta ini juga menekankan pentingnya menghindari cara-cara bisnis yang tidak bermoral, seperti penipuan, korupsi, atau eksploitasi. Bagi seorang praktisi Buddhis yang menjalankan bisnis, memperoleh keuntungan tidak boleh didahulukan di atas etika dan moralitas.

Buddha dalam penjelasan sutta yang lain mengidentifikasi bahwa ada lima jenis bisnis yang harus dihindari oleh seorang Buddhis. Kelima jenis bisnis ini dianggap berbahaya karena bertentangan dengan prinsip ahimsa (non-kekerasan) dan moralitas dasar dalam ajaran Buddha. Kelima jenis bisnis yang harus dihindari tersebut adalah pertama perdagangan senjata (satthavaṇijjā) yakni bisnis yang berkaitan dengan senjata atau alat-alat yang digunakan untuk membunuh atau mencederai orang lain. Kedua, perdagangan makhluk hidup (sattavaṇijjā) yakni bisnis yang memperdagangkan manusia atau hewan, termasuk perbudakan atau perdagangan hewan untuk disembelih. Ketiga, perdagangan daging (maṃsavaṇijjā) yakni bisnis yang melibatkan penjualan daging atau produk hewani yang diperoleh dengan cara membunuh. Keempat, perdagangan minuman keras dan obat-obatan yang memabukkan  (majjavaṇijjā) yakni bisnis yang menjual alkohol, narkoba, atau zat-zat lain yang dapat merusak kesadaran. Dan kelima, perdagangan racun (visava-ṇijjā) yakni bisnis yang menjual racun atau bahan kimia berbahaya yang dapat membahayakan makhluk hidup (A.III.207). Kelima jenis bisnis ini bertentangan dengan ajaran Buddha tentang tidak menyakiti makhluk hidup dan menjaga kesadaran yang jernih. Seorang pengusaha Buddhis seharusnya berusaha untuk menjauhi bisnis-bisnis ini, karena meskipun mungkin menguntungkan secara finansial, dampaknya secara moral dan spiritual sangat negatif.


Bisnis dan Prinsip Right Livelihood (Pencaharian Benar)

Konsep Right Livelihood atau Sammā-ājīva adalah salah satu bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang merupakan inti dari ajaran Buddha. Dalam konteks bisnis, Right Livelihood berarti menjalankan usaha atau bisnis yang tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan tidak menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Menurut Buddha, seseorang harus mencari nafkah dengan cara yang tidak menimbulkan bahaya atau kerugian bagi makhluk lain, selayaknya lebah yang mengumpulkan madu (D.III, 189). Buddha dalam Mahacattarisaka Sutta menyebutkan bahwa Right Livelihood mencakup pekerjaan yang dilakukan tanpa melanggar nilai-nilai moral (M.III:76). Sebagai seorang pengusaha, penting untuk mempertimbangkan dampak dari produk atau layanan yang dijual. Apakah bisnis tersebut membantu atau justru merugikan masyarakat? Apakah dalam prosesnya terdapat eksploitasi atau perusakan lingkungan? Semua ini harus dipertimbangkan jika seseorang ingin mempraktikkan Right Livelihood dalam bisnisnya. Selain dalam hal jenis bisnis yang dijalankan, Buddha juga memberikan panduan tentang bagaimana seorang pengusaha seharusnya memperlakukan orang lain, termasuk rekan kerja, karyawan, dan pelanggan. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha mengajarkan tentang tanggung jawab seorang majikan terhadap karyawannya dan sebaliknya. Buddha menyebutkan bahwa seorang majikan harus: Memberikan upah yang adil dan tepat waktu, menyediakan kondisi kerja yang layak dan aman, menawarkan fasilitas yang mendukung kesejahteraan karyawan, menghargai upaya dan dedikasi karyawan. Di sisi lain, karyawan diharapkan bekerja dengan kejujuran, loyalitas, dan dedikasi (D.III:192). Dengan demikian, hubungan antara pengusaha dan pekerja dibangun di atas rasa saling menghormati dan keadilan. Hubungan yang harmonis dalam bisnis ini penting tidak hanya untuk keberhasilan materi, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan kerja yang etis dan manusiawi.


Pemakaian Pendapatan yang Tepat dalam Agama Buddha

Buddha telah mengajarkan cara seseorang memperoleh dan menggunakan pendapatannya merupakan hal penting untuk mencerminkan kesadaran etis dan spiritual. Agama Buddha tidak menolak kekayaan atau pendapatan, tetapi mengajarkan bahwa uang dan harta benda harus diperoleh dan dikelola dengan penuh tanggung jawab serta digunakan untuk tujuan yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Buddha dalam Aṅguttara Nikāya menjelaskan tentang bagaimana menggunakan pendapatan dengan cara yang benar dan bermanfaat. Dalam ajaran Buddha, cara seseorang memperoleh dan menggunakan pendapatannya merupakan hal penting yang mencerminkan kesadaran etis dan spiritual.

Agama Buddha tidak menolak kekayaan atau pendapatan, tetapi mengajarkan bahwa uang dan harta benda harus diperoleh dan dikelola dengan penuh tanggung jawab serta digunakan untuk tujuan yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Buddha menyebutkan ada empat cara utama yang disarankan untuk menggunakan pendapatan atau kekayaan. Empat penggunaan ini menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pribadi, membantu orang lain, dan mempersiapkan masa depan.

Panduan ini sangat relevan bagi siapa pun yang ingin mengelola kekayaan dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Empat penggunaan ini menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pribadi, membantu orang lain, mempersiapkan masa depan, dan mendukung aktivitas spiritual dan kebajikan (A.II:86). Panduan ini sangat relevan bagi siapa pun yang ingin mengelola kekayaan dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Keempat penggunaan kekayaan dijelaskan sebagai berikut:

  1. Memenuhi Kebutuhan Diri Sendiri dan Keluarga: 

Pendapatan sebaiknya digunakan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan. Buddha menyarankan agar orang memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi sebelum berfokus pada hal-hal lain. Kebutuhan dasar ini penting untuk menjaga kehidupan yang seimbang dan sehat.

  1. Menyimpan untuk Masa Depan:

Dalam ajaran Buddha, menabung atau menyimpan sebagian dari pendapatan adalah bentuk kebijaksanaan yang penting. Mengantisipasi masa-masa sulit atau situasi darurat adalah bagian dari tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Dalam konteks modern, hal ini bisa diartikan sebagai pengelolaan keuangan yang cermat, seperti menabung, berinvestasi dengan bijak, atau mempersiapkan dana darurat.

  1. Kedermawanan (Caga):

Salah satu aspek penting dari ajaran Buddha tentang penggunaan kekayaan adalah kedermawanan. Buddha menekankan bahwa sebagian dari pendapatan seharusnya digunakan untuk membantu orang lain yang membutuhkan, baik itu melalui sumbangan kepada kaum miskin, amal, atau mendukung komunitas spiritual seperti saṅgha.

  1. Mendukung Aktivitas Spiritual dan Kebajikan:

Sebagian dari pendapatan juga sebaiknya digunakan untuk mendukung kegiatan spiritual atau kebajikan yang lebih besar. Ini termasuk mendukung pengembangan ajaran Dhamma, menyediakan dana untuk pembangunan vihara, atau mendukung kegiatan yang mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan kekayaan untuk tujuan ini menunjukkan bahwa seseorang tidak hanya berfokus pada manfaat duniawi, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual yang lebih dalam.


Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

Semoga Semua Makhluk Berbahagia


Oleh Bhikkhu Gunaseno Thera

Minggu, 02 Maret 2025


Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post