Metta, Konsep dan Pengukurannya

 Metta, Konsep dan Pengukurannya

Dalam Pendidikan Buddhis, mettā merupakan salah satu ajaran fundamental dan sangat familiar yang termasuk dalam domain afektif. Saat ini mettā merupakan suatu kebutuhan pragmatis sebagai sarana konstruktif yang menciptakan keharmonisan bahkan merupakan alat yang efektif di jalan menuju pencerahan. Namun demikian, dalam perkembanganya terdapat misunderstanding karena dipahami di luar konsteks (Thanisaro, 2014), di antaranya: 1) mettā, berarti cinta. Mettā lebih tepat dterjemahkan sebagai itikad baik; 2) Praktek brahmavihāra termasuk mettā adalah suatu bentuk doa. Dalam kenyataanya, mettā bukanlah doa tapi tekad; 3) Mettā paling baik diungkapkan oleh tindakan kelembutan yang tidak kritis. Artinya dalam praktik mettā tidak semua tindakan kelembutan sejalan dengan niat baik yang tulus; tidak semua pemikiran atau kata-kata kritis berbahaya;  4) Orang lain layak menerima mettā kita, baik karena kebaikan bawaan mereka sendiri atau karena kita semua adalah satu. Kenyataannya, kita lah yang membutuhkan sikap ini sebagai sarana perlindungan diri.

Mettā adalah istilah yang multi-signifikan yang diartikan sebagai perasaan mencintai, mengasihi (Buddhaghosa, 2011); cinta kasih yang bebas dari itikad buruk (Thitila, 1995); kebajikan (Analayo (2015). Indikator sikap ini adalah: 1) kepedulian empatik altrusitik; 2) sikap persahabatan; 3) tanpa kekerasan (avihimsa); dan 4) sikap sabar ketika menghadapi orang lain yang bersikap agresif. Dalam Pendidikan agama Buddha, pengukuran sikap mettā dapat dilakukan dengan self-assessment, peer-assessment, maupun observasi.

Dalam mettānisaṃsa sutta (Anguttara Nikaya, 11. 16) ada sebelas manfaat mengembangakn sikap mettā yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga empat aspek yakni:

  1. Manfaat terkait tidur, yakni: (1) tidur dengan nyenyak (sukhaṃ supati); (2) terjaga dengan bahagia (sukhaṃ paṭibujjhati); (3) tidak bermimpi buruk (na pāpakaṃ supinaṃ passati).

  2. Manfaat terkait supranatural: (4) ia disukai makhluk bukan manusia (amanussānaṃ piyo hoti); (5) dilindungi oleh para dewa (devatā rakkhanti); (6) api, racun dan senjata tidak dapat melukai (nāssa aggi vā visaṃ vā satthaṃ vā kamati)

  3. Perubahan kepribadian: (7) disukai manusia (manussānaṃ piyo hoti); (8) raut wajahnya tenang (mukhavaṇṇo vippasīdati); (9) pikirannya dapat dengan cepat terkonsentrasi (tuvaṭaṃ cittaṃ samādhiyati)

  4. Terkait kematian: (10) meninggal dunia dengan tidak bingung (asammūḷho kālaṃ karoti); (11) jika belum mencapai kesucian, setelah meninggal terlahir di alam Brahma (uttari appaṭivijjhanto brahmalokūpago hoti)   


Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post