Hubungan yang Ideal
- Puja Bakti Umum
- November 23, 2025
- 11 minutes read
“Sīladassanasampannaṁ, dhammaṭṭhaṁ saccavedinaṁ;
Attano kamma kubbānaṁ, taṁ jano kurute piyaṁ’ti.”
Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang,
teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya.
(Dhammapada: XVI:217)
Pernikahan merupakan hal yang wajar diharapkan bagi perumah tangga. Setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri, termasuk tentang urusan perkawinan untuk menempuh kehidupan berkeluarga atau meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi bhikkhu. Pernikahan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Melalui pernikahan, dua individu yang berbeda bersatu untuk membentuk keluarga dan menjalani kehidupan bersama dalam suka maupun duka. Dalam pandangan Agama Buddha, pernikahan bukanlah sebuah kewajiban religius atau upacara sakral melainkan ikatan moral dan sosial yang dijalankan dengan kesadaran, tanggung jawab, serta cinta kasih. Tujuan utama pernikahan menurut ajaran Buddha adalah untuk menciptakan kebahagiaan, keharmonisan, dan kemajuan spiritual bersama antara suami dan istri.
Dalam Aṅguttara Nikāya II. 53, terdapat empat pasang suami istri, yaitu: 1) Seorang pria jahat (chavo) dengan seorang wanita jahat (chava). Mereka merupakan pasangan yang buruk, senantiasa melanggar peraturan-peraturan moral, melakukan berbagai tindak kejahatan, mempunyai kebiasaan buruk, mementingkan diri sendiri, menghina orang suci dan orang lain, 2) Pria jahat (chavo) dengan wanita baik (devi), 3) Pria baik (deva) dengan wanita jahat (chava), dan 4) Pria baik (deva) dengan wanita baik (devi).
Dari empat pasang suami istri tersebut di atas, pasangan keempat merupakan pasangan yang baik dan dipuji oleh Sang Buddha. Semua orang ingin memiliki pasangan ideal seperti itu tetapi tidak semua orang dapat merealisasikannya. Tidak sedikit pasangan suami istri yang pada mulanya indah tetapi seiring dengan berjalannya waktu ternyata mereka gagal di tengah jalan karena masing-masing memiliki karakter berseberangan. Untuk itu, mereka harus memiliki kesadaran untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya.
Sang Buddha mengajarkan bahwa kehidupan rumah tangga dapat menjadi ladang praktik Dhamma apabila dijalankan dengan penuh pengertian dan kebajikan. Salah satu ajaran penting mengenai hubungan suami istri terdapat dalam Sigālovāda Sutta (Dīgha Nikāya 31), Sang Buddha menjelaskan tanggung jawab timbal balik antara suami dan istri, pentingya saling menghormati, kesetiaan, tanggung jawab, dan kerja sama dalam membina kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Tugas Suami Kepada Istri
Hubungan timbal balik suami istri adalah kunci kesuksesan dalam merealisasikan pasangan ideal. Suami selaku kepala keluarga juga tidak boleh egois. Secara positif, para suami dianjurkan untuk memelihara hubungan yang baik kepada istri mereka dengan cara bersikap manis, menghormatinya, tidak membencinya, setia kepadanya, memberikan wewenang kepadanya, menghadiahkan perhiasan dan lain sebagainya. Selanjutnya, suami harus berbicara ramah kepada istrinya, membantunya dalam segala pekerjaan, membawanya menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorongnya untuk melakukan upacara keagamaan dan menasehatinya dalam hal kebaikan.
Suami yang tidak mengusahakan hal-hal tersebut di atas akan dibenci oleh istrinya. delapan hal yang menyebabkan para suami dibenci oleh istrinya sendiri, yaitu apabila ia miskin, sakit-sakitan, tua, bermabuk-mabukan, bodoh, kurang perhatian, terlalu sibuk, dan menghambur-hamburkan uang.
Tugas Istri Kepada Suami
Dalam Dīgha Nikāya III. 31 Sigālovāda Sutta terdapat lima kewajiban seorang istri yaitu: 1) Melakukan semua tugas dan kewajibannya dengan baik, 2) Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak, 3) Setia kepada suaminya, 4) Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, 5) Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya.
Sang Buddha tidak hanya memperhatikan seorang suami tetapi juga istri. Sang Buddha menganjurkan kepada para istri agar tidak menjadi salah satu di antara tiga istri sebagai berikut: 1) Istri pembunuh (vadhakasama) yang tidak kenal belas kasihan, batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, dan ingin membunuh, 2) Istri perampok (corisama) senang merampas hasil perolehan suami, dan 3) Istri yang malas, kaku, rakus, kasar bicaranya, suka bergunjing, menguasai suaminya (Aṅguttara Nikāya IV. 91).
Terdapat beberapa sifat buruk yang harus dihindari oleh para istri, yaitu, istri yang tidak menghiraukan kehadiran, kepergian, maupun kedatangan suami, tidak memujinya, namun senang menceritakan keburukan suaminya. Dengan watak yang tidak terbina dia merugikan suaminya, dan bertingkah laku buruk, bermalas-malasan, menghindari suaminya di tempat tidur, patuh pada kata-kata orang lain, menghambur-hamburkan kekayaan keluarga, senang bergaul intim dengan tetangga namun tidak menghiraukan dan tidak menghormati suaminya, senang mendatangi tempat-tempat umum tanpa disertai suaminya, atau mendatangi rumah kenalan atau handai taulan, memakai perhiasan-perhiasan orang lain, senang bermabuk-mabukan. Di dalam Aṅguttara Nikāya II. 62 sebagai berikut: ”Bila sepasang suami istri ingin saling memandang, tetap bersama-sama dalam kehidupan saat ini dan dalam kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus seimbang dalam keyakinan (samma saddha), seimbang dalam kemoralan (samma sīla), seimbang dalam kemurahan hati (samma caga), dan seimbang dalam kebijaksanaan (samma paññā).
KESIMPULAN
Hubungan suami dan istri dalam Agama Buddha merupakan hubungan yang didasarkan pada cinta kasih, saling menghormati, dan tanggung jawab moral. Sang Buddha melalui Sigālovāda Sutta memberikan panduan praktis mengenai kewajiban masing-masing pihak agar tercipta kehidupan rumah tangga yang harmonis. Suami hendaknya menghormati, setia, dan bertanggung jawab terhadap istri, sedangkan istri hendaknya setia, bijaksana, dan menjaga kesejahteraan rumah tangga. Bila keduanya menjalankan kewajiban dengan penuh kesadaran dan kebajikan, maka pernikahan akan menjadi jalan menuju kebahagiaan, kedamaian, dan perkembangan spiritual. Dalam kehidupan modern, pasangan Buddhis perlu terus menghidupkan nilai-nilai Dhamma dalam hubungan rumah tangga. Dengan menumbuhkan cinta kasih, komunikasi yang baik, dan sikap saling memahami, keluarga akan menjadi tempat yang nyaman untuk tumbuhnya kebajikan dan kebahagiaan sejati.
Oleh: Bhikkhu Medhāviriyo
Minggu, 23 November 2025



