Jangan Terlena oleh Kesehatan Fisik, Hingga Lupa Berbuat Baik
- Puja Bakti Umum
- November 16, 2025
- 11 minutes read
Ārogyaparamā lābhā, santuṭṭhiparamaṃ dhanaṁ.
Vissāsaparamā ñāti, nibbānaṁ paramaṁ sukhaṁ
Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Kepuasan adalah kekayaan
yang paling berharga. Kepercayaan adalah saudara yang paling baik.
Nibbāna adalah kebahagiaan yang tertinggi.
(Dhammapada, Sukha Vagga 204)
Dalam kehidupan modern, banyak orang menaruh perhatian besar pada kesehatan fisik menjaga tubuh tetap bugar, berolahraga, makan makanan bergizi, dan berpenampilan menarik. Tentu, semua itu tidak salah. Bahkan, dalam pandangan Buddhis, tubuh yang sehat diakui sebagai sarana penting untuk berbuat kebajikan. Namun, masalah muncul ketika kesehatan jasmani menjadi pusat perhatian utama, sementara pembinaan batin dan kebajikan diabaikan. Kita menjadi terlena oleh kenikmatan tubuh, sehingga lupa bahwa tubuh ini hanyalah wadah sementara yang suatu hari akan menua, sakit, dan hancur.
Kesehatan fisik merupakan anugerah yang sangat berharga dalam kehidupan manusia. Dengan tubuh yang sehat, kita dapat bekerja, belajar, dan melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Namun sering kali, ketika seseorang berada dalam keadaan sehat, ia menjadi terlena dan melupakan hakikat sejati dari kehidupan yaitu menggunakan kesempatan ini untuk menanam kebajikan. Banyak orang hanya fokus pada bagaimana menjaga tubuh tetap bugar, cantik, dan kuat, tetapi lalai menyehatkan batinnya melalui kebajikan, bahkan justru sebaliknya menggunakan tubuhnya yang sehat untuk melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Dalam ajaran Sang Buddha, tubuh ini diibaratkan seperti wadah yang rapuh, mudah rusak, dan tidak kekal. Dalam Dhammapada ayat 147, Buddha menandaskan: “Lihatlah tubuh ini, bagaikan bejana yang indah namun rapuh, disusun dari berbagai bagian, penuh dengan penyakit, dan mudah rusak.”
Syair ini mengingatkan bahwa meskipun tubuh tampak kuat hari ini, namun pada hakikatnya ia terus menuju kehancuran. Maka, bila seseorang hanya memelihara tubuh tetapi mengabaikan kebajikan, ia sama saja dengan memperindah wadah yang suatu hari akan pecah tanpa pernah mengisinya dengan sesuatu yang berharga. Kesadaran akan ketidakkekalan tubuh seharusnya mendorong kita untuk tidak menunda perbuatan baik. Masa sehat adalah waktu terbaik untuk berbuat kebajikan, sebab saat tubuh melemah, banyak hal tidak lagi dapat dilakukan. Oleh karena itu, memahami nilai sejati dari kesehatan adalah langkah awal untuk menjalani hidup yang bermakna dan bermanfaat.
Sang Buddha mengajarkan bahwa kesehatan jasmani dan kesehatan batin adalah dua hal yang berbeda, meski keduanya saling mendukung. Dalam Dhammapada ayat 204, Buddha menandaskan: “Kesehatan adalah karunia yang paling besar; kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga; kepercayaan adalah sanak yang terbaik; dan Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.”
Kesehatan jasmani hanyalah anugerah sementara. Jika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan kebajikan, tubuh yang sehat bisa menjadi sumber kemelekatan, kesombongan, dan kelengahan. Banyak orang karena merasa kuat dan sehat, justru menunda-nunda kebajikan, mengira bahwa waktu masih panjang. Padahal, seperti yang diajarkan dalam Salla Sutta (SN 36.6), penderitaan jasmani tidak dapat dihindari, tetapi penderitaan batin dapat dikendalikan melalui kebijaksanaan dan pengertian benar.
Kisah inspiratif dari ayahanda Sang Buddha, Raja Suddhodana. Ketika beliau sakit parah, Sang Buddha datang menjenguk. Raja berkata, “Selama hidupku aku memiliki tubuh yang sehat, harta yang melimpah, dan kekuasaan besar, namun kini semuanya tak berguna. Hanya kebajikan dan keyakinanku kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha yang menjadi penopangku.” Sang Buddha pun menasihatinya, “Wahai Raja, tubuh ini tak dapat bertahan lama. Namun perbuatan baik yang engkau lakukan akan menjadi warisan sejati.” Beberapa hari kemudian, Raja mencapai tingkat kesucian Arahat dan Parinibbāna dengan batin tenang. Kisah ini menunjukkan bahwa tubuh yang sehat tidak kekal, tetapi kebajikanlah yang abadi.
Oleh karena itu, selama tubuh masih kuat, hendaknya digunakan untuk hal-hal yang berguna dan bermakna. Dalam AN 5.57 (Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhāna Sutta): sutta ini mengajarkan lima bahan kontemplasi yang harus sering direnungkan oleh para praktisi (baik perumah-tangga maupun yang meninggalkan kehidupan duniawi). Salah satunya: “Dalam keadaan sehat makhluk dimabukkan oleh kesehatan; ketika dimabukkan oleh kesehatan, mereka melakukan perbuatan salah lewat tubuh, ucapan, dan pikiran.” Dengan merefleksikan fakta seperti kita tunduk pada ketuaan, penyakit, dan kematian. Kemabukan atas kesehatan dan hidup akan berkurang sehingga mendorong pelaku untuk berbuat baik selagi masih sehat. Dalam sutta ini Sang Buddha menganjurkan kita untuk sering merenungkan lima hal antara lain bahwa kita tunduk pada ketuaan, penyakit, dan kematian, dan bahwa saat sehat kita mudah terbius oleh kesehatan sehingga cenderung melakukan perbuatan salah. Dengan sering merenungkannya, kemabukan atas kesehatan dapat berkurang dan kita terdorong menggunakan masa sehat untuk menumbuhkan kebajikan.
Sang Buddha menasihati kita untuk senantiasa mengembangkan kebijaksanaan. Menjadi orang yang bijaksana adalah ia yang menggunakan kesehatannya untuk melakukan kebajikan, karena ia mengetahui bahwa kesehatan tidak akan bertahan lama. Waktu sehat adalah kesempatan berharga untuk memperbanyak dāna (kedermawanan), menjaga sīla (moralitas), dan mengembangkan bhāvanā (meditasi). Inilah cara untuk menyehatkan batin sekaligus mempersiapkan diri menghadapi perubahan yang tak terelakkan.
Kelengahan terhadap nilai kesehatan batin juga disebutkan dalam Dhammapada ayat 21: “Kewaspadaan adalah jalan menuju keabadian; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati; orang yang lalai seolah telah mati.”
Artinya, orang yang hanya memperhatikan tubuh fisik namun lalai menumbuhkan kewaspadaan batin, sejatinya telah mati dalam makna spiritual. Ia hidup tanpa arah, tanpa kebajikan, dan tanpa kesadaran akan ketidakkekalan.
Kesehatan fisik memang penting, namun ia bukanlah tujuan akhir. Tubuh yang sehat hanyalah sarana untuk berbuat baik, bukan untuk dipuja atau disombongkan. Seperti tetesan air yang perlahan memenuhi tempayan, demikian pula kebajikan kecil yang dilakukan setiap hari akan menjadi harta batin yang tak ternilai. Karena itu, marilah kita tidak terlena oleh kesehatan fisik, melainkan gunakan masa sehat ini untuk memperbanyak perbuatan baik, mengembangkan kebijaksanaan, dan menumbuhkan cinta kasih demi tercapainya kebahagiaan sejati di kehidupan saat ini maupun di kehidupan yang akan datang.
Oleh Bhikkhu Nipako
Minggu, 16 November 2025



