Hujan

 Hujan

 

“Channā me kuṭikā sukhā nivātā, vassa deva yathāsukhaṃ; 

Cittaṃ me susamāhitaṃ vimuttaṃ, ātāpī viharāmi vassa devā.”

“Pondok kecilku beratap, nyaman, tak berangin, hujanlah langit, sebagaimana sesukanya; Pikiranku terpusat baik dan terbebaskan, aku berdiam dengan giat, hujanlah langit.” (Thag 1.1)

Sejak ribuan tahun yang lalu, fenomena hujan (vassa atau vuṭṭhi) sangatlah penting dalam berlangsungnya kehidupan. Turunnya hujan seringkali dianggap sebagai berkah yang melimpah bagi kehidupan manusia. Buddha menegaskan peran hujan seperti seorang ibu memberi makan anak tunggalnya. Hujan memelihara semuanya baik yang lemah maupun kuat, hidup semua makhluk yang berada di bumi ditopang oleh curahan hujan (SN 1.80).

 

Bangsa India kuno percaya bahwa perbuatan tak bermoral yang meluas juga dapat mengacaukan curah hujan. Dalam kitab Jātaka, Buddha sependapat dengan menyatakan, “Turunnya hujan pada saat yang tidak tepat dan tidak turunnya hujan pada saat yang tepat disebabkan oleh raja atau pimpinan yang berlaku buruk.” Musim kemarau (nidāgha atau viṭṭhidubbuṭṭhi) seringkali dianggap sebagai bencana yang dapat menyebabkan kelaparan dan kekacauan.

 

Dalam literatur Buddhis, hujan dapat turun sedikitnya dalam 2 cara yang berbeda yakni (1) dalam tetesan yang besar (thulla phusitaka) seperti hujan deras pada musim hujan dan (2) gerimis (ekaṃ ekaṃ) seperti percikan air (AN 3.95). Meskipun banyak legenda terkait dengan hujan, tetapi sesungguhnya hujan hanyalah proses alam yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Buddha berkata bahwa berkurangnya curah hujan dapat berhubungan dengan beberapa sebab seperti eleman panas dan angin sehingga awan berhamburan di atas samudra. Selain itu, juga terdapat pengaruh dari raja asura, dewa hujan dan manusia yang tidak baik (AN 5.197).

 

Begitu pentingnya hujan dalam menunjang kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk hidup, Buddha sampai membandingkan terjadinya hujan setara dengan pemberian. Beliau menjelaskan bahwa ada 3 macam orang yang terdapat di dunia ini (Iti 75) yaitu seperti:

  1. Awan tanpa hujan (avuṭṭhikasamo

Orang yang tidak memiliki kedermawanan, tidak mau memberi kepada siapa pun.

  1. Hujan lokal (padesavassī

Orang yang mau memberi tetapi masih memilih-milih penerima; di sini dia memberi, di sana dia tidak memberi; kepada orang tertentu diberi, kepada yang lain tidak diberi.

  1. Hujan merata (sabbatthābhivassī

Orang yang selalu memberi kepada siapa saja tanpa pilih kasih.

 

Namun demikian, cuaca buruk juga menjadi salah satu faktor penyebab penyakit. Pendapat ini benar adanya khususnya pada musim hujan. Tiupan angin dingin yang kencang, kelembaban yang tinggi, dan genangan air yang ada di mana-mana mengakibatkan beragam penyakit dapat tersebar ke segala penjuru. Selama musim hujan, banyak orang menderita sakit yang berkelanjutan. Ditambah lagi perubahan cuaca semakin tidak menentu. Maka dari itu, berdiam di sebuah tempat yang aman dan terlindungi selama hujan adalah pilihan terbaik bagi semua makhluk.

 

Sebelum pelaksanaan retret selama musim hujan ditetapkan oleh Buddha, para bhikkhu bebas mengembara tanpa ada batasan waktu. Namun, jalan berlumpur, sungai meluap, dan munculnya genangan air membuat perjalanan menjadi sulit dilalui. Terlebih ada sebagian bhikkhu menginjak rumput dan tanaman hijau yang baru tumbuh. Masyarakat yang melihat hal tersebut mulai berkomentar miring dan melaporkannya kepada Buddha. Meskipun tidak disengaja, para bhikkhu dianggap telah menyakiti makhluk hidup yang memiliki satu indra (ekindriyaṃ) dan membunuh sejumlah binatang kecil lainnya.

 

Berdiam di satu tempat yang telah dipilih selama tiga bulan di musim hujan (vassaṃ vasati) menjadi tradisi yang berlangsung sampai sekarang. Sesungguhnya, ini bukanlah sekadar tradisi semata, melainkan ada esensi yang penuh makna. Para bhikkhu diajarkan dan dianjurkan untuk praktik secara intensif dan kontinu setiap harinya. Pengembangan kesadaran (citta bhāvanā) sangat ditekankan dalam menunjang batin yang tercerahkan. 

 

Mengingat banyaknya bhikkhu yang berdiam di tempat tertentu selama musim hujan, umat awam memiliki banyak kesempatan untuk memantapkan tekadnya dalam laku puja bakti, latihan meditasi dan berdiskusi tentang Dhamma. Dengan demikian, datangnya hujan memang pantas disebut sebagai berkah kehidupan, senantiasa menghadirkan kebahagiaan bagi setiap makhluk hidup di dunia.

 

Pustaka Rujukan

Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Translated by Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2012.

Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Translated by Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

Udāna and Itivuttaka. Two Classics from the Pali Canon. Translated by John Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.

Theragāthā: Elders’ Verses I. Translated by K.R. Norman. Oxford: Pali Text Society, 1995.

 

Oleh: Bhikkhu Ratanadhiro

 

Minggu, 20 Juli 2025

 

Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post