Mencegah Gangguan Mental Burn Out dan Brain Rot di Era Digital

 Mencegah Gangguan Mental Burn Out dan Brain Rot di Era Digital

 

Araññe viharantānaṃ santānaṃ brahmacārinaṃ,

Ekabhattaṃ bhuñjamānānaṃ kena vaṇṇo pasīdati

Atītaṃ nānusocanti nappajappanti nāgataṃ

Paccuppannena yāpenti tena vaṇṇo pasīdati

Mereka yang berdiam jauh di dalam hutan, damai menjalani hidup suci makan hanya satu kali sehari, mengapakah kulit mereka begitu cerah? 

Mereka tidak meratapi masa lampau, juga tidak merindukan masa depan 

mereka memelihara diri dengan apa yang ada sekarang karena itu kulit mereka 

begitu cerah. 

 

(Saṃyutta Nikāya I, Naḷa Vagga: Arañña Sutta)

Di era digital yang serba cepat, istilah “burn out” dan “brain rot” semakin sering digunakan. Istilah ini menggambarkan kondisi penurunan kualitas mental atau intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan terhadap konten yang dangkal atau tidak menantang, terutama dari platform daring.  Fenomena ini menjadi sorotan karena konten-konten semacam itu cenderung membuat pikiran jenuh, kurang produktif, bahkan dapat memengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan.  Dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan aplikasi hiburan, burn out dan brain rot kini dianggap sebagai salah satu dampak dari pola konsumsi digital yang tidak seimbang. Apa sebenarnya pengertian burn out dan brain rot, dan bagaimana kondisi ini memengaruhi kesehatan mental pengguna media digital?


Menurut data World Health Organization (WHO), burn out diklasifikasikan sebagai sindrom akibat stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola, dengan gejala utama berupa kelelahan ekstrem, sikap sinis terhadap pekerjaan, dan penurunan efektivitas profesional.  Di Indonesia, survei dari YouGov pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pekerja mengaku pernah mengalami tanda-tanda burn out, terutama di usia 25–35 tahun. Kelompok yang paling rentan termasuk profesional muda, tenaga kesehatan, pelajar, dan ibu rumah tangga multitasking.


Oxford University Press, istilah “brain rot” pertama kali tertulis dalam buku Walden karya Henry David Thoreau pada tahun 1854. Dalam bukunya, Thoreau mengkritik kebiasaan masyarakat yang lebih suka memilih ide-ide sederhana dan dangkal daripada gagasan yang lebih kompleks dan menantang.  Namun, di era digital saat ini, istilah brain rot mendapatkan makna baru, terutama di tengah lonjakan penggunaan media sosial. Selama periode 2023 hingga 2024, frekuensi penggunaan istilah ini meningkat hingga 230 persen, menyoroti kekhawatiran yang terus berkembang tentang dampak konsumsi konten daring yang tidak berkualitas. 


Istilah ini menjadi populer di kalangan Gen Z dan Gen Alpha, khususnya di platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, di mana konten viral sering kali bersifat dangkal atau humoris, tetapi minim nilai intelektual. Beragam jenis konten daring yang dikaitkan dengan istilah brain rot sering kali bersifat viral dan cenderung tidak memiliki nilai intelektual yang signifikan. Beberapa penelitian dan panduan yang diterbitkan oleh lembaga kesehatan mental telah menyoroti pentingnya mengenali dan menghindari efek negatif dari konsumsi konten semacam ini.  Hal ini menekankan perlunya membatasi paparan terhadap konten yang tidak mendukung pertumbuhan intelektual dan emosional.


Penyebab Burn Out dan Brain Rot

Medical News Today, ada beberapa penyebab burn out yang umum ditemui, seperti memiliki beban kerja yang tidak bisa dikendalikan, mendapatkan perlakuan tidak adil ketika bekerja, tidak memiliki uraian tugas yang jelas, serta memiliki komunikasi yang buruk atau tidak mendapatkan dukungan dari atasan. Kelompok yang paling rentan mengalami burn out dan brain rot adalah profesional muda, tenaga kesehatan, pelajar, dan ibu rumah tangga multitasking.  Dampaknya tidak main-main burn out dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, bahkan kehilangan makna dalam aktivitas sehari-hari. Jika dibiarkan, kualitas hidup dan produktivitas pun bisa menurun drastis.


Dampak Burn Out dan Brain Rot Pada Kesehatan Mental

  1. Masalah Ingatan

Orang yang terlalu sering terpapar layar atau konten berkualitas rendah sering kesulitan mengingat hal-hal sederhana seperti nama, tanggal, atau kejadian baru-baru ini.  Hal ini bisa berdampak buruk pada prestasi akademik maupun kehidupan pribadi, menimbulkan rasa frustrasi, dan menurunkan kepercayaan diri.

  1. Sulit Berkonsentrasi

Waktu layar yang berlebihan dapat membuat seseorang kesulitan fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi jangka panjang. Akibatnya, kemampuan memecahkan masalah dan produktivitas secara keseluruhan pun menurun.

  1. Kelelahan Mental

Paparan konten yang tidak menantang secara terus-menerus dapat menyebabkan rasa lelah dan hilangnya motivasi. Kondisi ini sering kali memicu siklus menghindari aktivitas yang membutuhkan stimulasi mental, yang pada akhirnya memperburuk penurunan kemampuan kognitif.

  1. Meningkatnya Kecemasan dan Depresi

Kebiasaan terus-menerus menggulirkan berita negatif (doomscrolling) dapat memicu perasaan sedih, putus asa, dan mudah marah. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan dengan meningkatnya risiko kecemasan dan depresi.

  1. Isolasi Sosial

Ketika kemampuan kognitif menurun, seseorang cenderung menarik diri dari interaksi sosial yang membutuhkan keterlibatan mental. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam hubungan serta meningkatkan rasa kesepian.

  1. Kebiasaan Doomscrolling

Doomscrolling merupakan perilaku mencari berita buruk secara berlebihan di internet, yang dapat menyebabkan rasa kewalahan karena terlalu banyak informasi. Kebiasaan ini sangat terkait dengan brain rot dan dapat meningkatkan tingkat stres serta berdampak buruk pada kesehatan mental. 

  1. Penguatan Mental Melalui Psycho-Therapy

Penyakit mental (mental disorder) adalah istilah umum, bagi gangguan-gangguan mental yang sifatnya psychogenic, yaitu yang gangguan-gangguannya tidak dapat kita lacak pada sesuatu sebab jasmaniah, yang misalnya berupa mengalami luka, adanya ketidak-seimbangan cemas, atau mengalami kemunduran jasmaniah. Istilah gangguan jiwa, atau penyakit jiwa, mencakup pengertian-pengertian, atau istilah-istilah: penyakit jiwa jenis phobia, penyakit jiwa jenis neurose, dan penyakit jiwa jenis psychose


Menurut Roga Sutta, terdapat dua jenis penyakit di dunia ini, yaitu penyakit fisik (kāyiko rogo) dan penyakit mental (cetasiko rogo: A. p. 522). Menurut Buddha, selain orang yang kilesa-nya telah dihancurkan, sungguh amat sulit menemukan orang yang benar-benar sehat secara mental. Dengan kata lain, manusia awam masih memiliki gangguan mental.


Sang Buddha mengajarkan bahwa kesehatan batin merujuk pada keadaan paling dalam (innermost) dari pikiran, perasaan, dan kesadaran seseorang. Artinya, batin dalam konteks agama Buddha tidak hanya mencakup aspek spiritual, tetapi juga psikologis, emosional, dan filosofis. Hal ini akan berpengaruh pada kondisi mental seseorang. Kondisi mental akan menentukan tingkat kebahagiaan seseorang dalam menjalani hidup, sehingga penguatan mental pada diri seseorang sangat penting.


Penguatan mental menjadi perhatian utama di tengah kehidupan modern digital yang penuh tekanan dan ketidakpastian. Banyak orang mencari cara untuk memperkuat ketahanan mental, salah satu sumber yang kaya akan praktik untuk mencapai hal ini adalah ajaran Buddhisme. Lebih dari sekadar agama, Buddhisme adalah filosofi yang menawarkan pedoman tentang cara menjalani hidup dengan damai dan bijaksana. Buddhisme telah memberikan banyak pemecahan terhadap kesukaran-kesukaran ini. Ajaran Buddha telah menunjukkan bahwa setiap pengalaman itu merupakan emosional batin yang selalu ada, yang menginterpretasikan, atau menafsirkan, apa yang dipersepsi, dicerap, bagaimana keputusan yang diambil atas aksi-aksinya, dan dapat memberi keyakinan kepada individu tentang keadaan dirinya sendiri.


Dalam banyak hal, seperti pada kehidupan Pangeran Siddhartha, pengalaman ini menimbulkan adanya ketidak-puasan, penderitaan, dan ketidak-mampuan. Ini adalah gangguan kejiwaan, atau penyakit jiwa, yang sifatnya umum, yang dinamai dukkha, yang sejenis dengan jenis penyakit mental taraf ringan, yang dinamai neurosis, yang sifatnya umum dialami oleh hampir semua orang. Kebanyakan dari umat Buddha telah mengenal neurosis jenis ini, di alam pengalamannya, dan berharap bahwa Buddhisme dapat meringankan penderitaannya.


Keseluruhan therapy-nya Buddhisme diuraikan pada sebuah ajaran yang dinamai Satu Jalan Utama Berunsur Delapan. Ini dapat dibagi menjadi, yang satu mengenai therapy persiapan atau therapy menumbuhkan pandangan benar, dan yang lainnya adalah therapy yang sesungguhnya. Therapy persiapan mencakup sejumlah disiplin mental dan tingkah laku sehari-hari, dan pengantar ke teori dan filsafatnya Buddhisme. Therapy yang sesungguhnya, adalah bhāvana, atau pengembangan batin.


Di Dunia Barat, sekarang ini, psychotherapy-nya biasanya digunakan sebagai istilah umum, bagi semua therapy yang tujuannya untuk meringankan atau menyembuhkan gangguan mental atau tingkah-laku. Psychotherapy-nya dibagi menjadi dua type. Yang satu adalah “therapy pengalaman”, misalnya psychoanalisa dan therapy-therapy yang berasal dari psychoanalisa, yang meliputi interview dan diskusi. Type therapy satunya lagi adalah “therapy tingkah-laku”. Di dalam perkembangannya, psychotherapy modern, terdiri dari penggabungan kedua type itu.


Apabila, therapy menurut Buddhisme kita bandingkan dengan psycho-therapy dari Dunia Barat, terdapat paralel-paralel yang agak berdekatan. Tampaknya, therapy intervieuw dan therapy diskusi, sebagai misalnya psychoanalisa, itu paralel dengan diskusi persiapan yang biasanya terjadi antara guru dan siswa, di dalam therapy-nya Buddhisme. Meditasi itu sendiri, tampaknya paralel, dan sangat erat, dengan teknik umum dari therapy tingkah-laku. Terdapat beberapa aspek vital dari meditasi, yang tetap merupakan unsur utama dari Ajaran Buddha.


Referensi:

  • http://lifestyle.kompas.com

  • https://tekno.kompas.com

  • https://kemenag.go.id/

  • American Journal of Psychiatry, 1941.

  • Changing Man’s Behaviour, Pelican, 1969


Oleh Bhikkhu Guṇaseno Thera

Minggu, 03 Agustus 2025

Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post