Berdamai dengan Kenyataan Hidup
- Puja Bakti Umum
- September 7, 2025
- 10 minutes read
Selo yathā ekaghano, vātena na samīrati;
Evaṃ nindāpasaṃsāsu, na samiñjanti paṇḍitā
“Bagaikan batu karang yang kokoh meski diterpa angin dari berbagai penjuru,
demikian juga orang bijaksana tidak akan tergoyahkan oleh cacian dan pujian.”
(Dhammapada 81)
Kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu seperti yang diharapkan. Meskipun setiap orang menginginkan hidup yang penuh dengan kebahagiaan, faktanya setiap orang juga harus berhadapan dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam hidupnya. Jalan hidup manusia tidak selalu lurus dan mulus, melainkan banyak jalan yang berliku dan terkadang berlubang yang harus dilewati. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari dinamika suka dan duka. Setiap orang akan berhadapan dengan delapan kondisi kehidupan (aṭṭha lokadhammā) yang datang silih berganti, yaitu: untung (lābho), rugi (alābho), dikenal (yaso), tidak dikenal (ayaso), dipuji (pasaṃsā), dicela (nindā), suka (sukhaṃ), dan duka (dukkhaṃ) (A. IV. 157). Kondisi kehidupan ini terus berjalan seperti roda yang berputar tanpa pernah bertanya seseorang siap atau tidak di dalam menghadapinya. Meskipun hidup sering dipandang menawarkan banyak pilihan, tetapi faktanya manusia tidak bisa memiliki kendali penuh terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya. Manusia tidak bisa hanya memilih kondisi-kondisi yang menyenangkan saja, tetapi juga harus siap dihantam dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Meskipun semua orang ingin mendapatkan keuntungan, popularitas, pujian, dan kebahagiaan, tetapi di dunia ini kegagalan, diremehkan, cacian, dan kesedihan adalah bagian dari kehidupan yang juga tidak bisa dihindari.
Ketidaksiapan seseorang dalam menerima kenyataan ini berpotensi melahirkan penderitaan dan perubahan sikap seseorang. Kenyataan pahit ini tidak hanya menyebabkan seseorang mengalami penderitaan psikologis yang mendalam, tetapi juga berimplikasi pada permasalahan sosial. Ratap tangis, kesedihan, kekecewaan, dan amarah tidak hanya menyakiti diri sendiri, tetapi juga berpotensi melahirkan tindakan-tindakan buruk sebagai bentuk pelampiasannya. Menyikapi hal ini, umat Buddha harus memiliki kesabaran dan kebijaksanaan untuk menghadapi pengalaman pahit, agar kesedihan dan kekecewaannya tidak membuatnya melakukan tindakan yang buruk. Umat Buddha harus bertekad, seburuk apapun keadaannya, jangan biarkan keadaan buruk tersebut mengubah dirinya menjadi orang yang buruk pula. Sekecewa apapun seseorang pada situasi tersebut, jangan sampai rasa kecewa itu mendorongnya melakukan keburukan-keburukan sebagai pelampiasan. Buddha memuji mereka yang memiliki integritas dan tidak goyah karena keadaan. Buddha berkata, “Bagaikan batu karang yang kokoh meski diterpa angin dari berbagai penjuru, demikian juga orang bijaksana tidak akan tergoyahkan oleh cacian dan pujian (Selo yathā ekaghano, vātena na samīrati; Evaṃ nindāpasaṃsāsu, na samiñjanti paṇḍitā) (Dhp. 81).
Di kehidupan yang penuh dengan dinamika ini, dibutuhkan kemampuan untuk berdamai dengan kenyataan. Berdamai artinya adalah kemampuan menerima realitas kehidupan apa adanya dan mengolah pengalaman pahitnya menjadi kebijaksanaan. Penerimaan ini bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan adalah kebijaksanaan yang lahir dari menyadari keterbatasan diri akan hal-hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup. Perubahan, kehilangan, perpisahan, dan pengalaman pahit lainnya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam hidup yang tidak kekal ini. Kehidupan dikatakan tidaklah menentu (addhuvaṃ jīvitaṃ), tapi kematian sudah tentu (dhuvaṃ maraṇaṃ) dan kehidupan tidaklah pasti (jīvitameva aniyataṃ), tetapi kematian adalah pasti (maraṇaṃ niyataṃ) (Dhp.A. III. 171). Perubahan fisik entah karena usia atau penyakit adalah wajar dalam hidup ini. Kehilangan atau berpisah dengan orang-orang yang dicintai adalah hal yang tidak bisa dihindari. Setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan; setiap ada kelahiran pasti ada kematian.
Poin-poin Dhamma berikut dapat dijadikan refleksi dalam upaya berdamai dengan kenyataan hidup:
Ketidakkekalan (Aniccā)
Pemahaman tentang ketidakkekalan menyadarkan seseorang bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara atau tidak selamanya. Tidak ada hubungan, peristiwa, atau pengalaman yang bertahan selamanya. Pertemuan dengan orang-orang tercinta, kedudukan di masyarakat, pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersifat tidak kekal dan pasti akan terpisahkan oleh perubahan, waktu atau kematian pada waktunya tiba. Pemahaman ini menyadarkan seseorang untuk tidak menggenggam atau melekat pada sesuatu yang tidak kekal. Tanpa pemahaman Aniccā, manusia cenderung akan melekat pada hal-hal yang dianggap akan abadi. Hal ini menimbulkan perlawanan batin berupa kesedihan, kekecewaan dan keputusasaan tatkala melihat kenyataan tidak seperti yang dibayangkan.
Hukum Karma (Kamma)
Hukum Karma menyadarkan bahwa setiap orang memiliki karmanya masing-masing. Segala pengalaman manis dan pahit yang seseorang alami saat ini, pada dasarnya adalah konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Hal ini menumbuhkan sikap untuk menerima kenyataan dan tidak mudah menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri sendiri. Keyakinan ini juga menyadarkan bahwa sebeasar apapun rasa sayang yang seseorang berikan pada orang-orang yang dicintainya, rasa sayang itu tidak bisa membuat mereka untuk tidak berubah. Setiap individu memiliki alur karmanya sendiri yang mempengaruhi setiap keputusan, sikap, dan arah hidupnya.
Kebijaksanaan (Paññā)
Kebijaksanaan adalah kemampuan melihat kenyataan secara jernih dan menentukan tindakan atau reaksi secara benar. Kebijaksanaan diibaratkan seperti pelita dalam kegelapan yang mampu menerangi jalan yang seseorang lewati, sehingga memungkinkan seseorang untuk menghindari jalan yang berlubang dan melangkah dengan selamat. Kebijaksanaan membantu seseorang untuk menentukan sikap yang tepat ketika berhadapan dengan kenyataan hidup.
Pada akhirnya, yang harus disadari dalam hidup ini adalah ada beberapa aspek-aspek kehidupan yang memang berada di luar kendali manusia. Berdamai dengan kenyataan adalah keniscayaan, bukan hanya pilihan.
Oleh Bhikkhu Medhācitto
Minggu, 07 September 2025



