Berdamai Dengan Diri Sendiri
- Puja Bakti Umum
- November 5, 2024
- 13 minutes read
Selo yathā ekaghano, vātena na samīrati
Evaṁ nindāpasaṁsāsu, na samiñjati paṇḍitā’ti
Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai,
demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.
(Dhammapada, Paṇḍitā Vagga 81)
Kutipan Dhammapada di atas dilatarbelakangi oleh kisah seorang bhikkhu yang bernama Lakundaka Bhaddiya Thera (Si Pendek Bhaddiya) yang sering diejek oleh para bhikkhu yang tinggal bersamanya. Meskipun beliau sering diejek dan dicaci maki, namun beliau tidak pernah merasa benci maupun dendam kepada siapa pun yang mengejeknya. Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda, “seseorang arahat tidak pernah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seseorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan atupun pujian” lalu Sang Buddha melantunkan syair Dhammapada seperti yang dikutip di atas tersebut.
Pembahasan
Setiap makhluk yang hidup pasti tumbuh dan berkembang baik itu tumbuhan, hewan dan manusia akan mengalami pertumbuhan. Namun pembahasan kali ini ditekankan pada manusia. Tumbuh dewasa adalah fase di mana seseorang akan terus mengalami berbagai perubahan, baik itu pola pikir, tingkah laku, hingga permasalahan yang dihadapi, hal ini merupakan sebagian dari proses menuju kedewasaan. Akan tetapi, tidak semua orang dapat menyikapi setiap permasalahan yang ada dengan pikiran yang positif, namum menerima dan menyelesaikan setiap permasalahan dengan keadaan yang tenang dan damai. Kesulitan dalam menerima permasalahan yang ada mengakibatkan seseorang diliputi oleh ketidaknyamanan, susah tidur, dan gangguan psikologis lainnya, hingga mengakibatkan stres. Setelah melihat permasalahaan yang dihadapi tersebut, pada kesempatan ini akan membahas barkaitan dengan cara sederhana untuk menghadapi problema hidup yang dihadapi.
Setiap permasalahan pada dasarnya dapat diselesaikan tergantung bagaimana cara seseorang dalam menghadapi dan berusaha untuk mencari solusi, bukan menghakimi diri sendiri. Diketahui bahwa tidak sedikit orang di dunia ini yang sulit menerima keadaan sulit atau bahkan menerima dirinya sendiri. Terdapat banyak orang membenci kelahirannya sebagai manusia, entah karena terlahir di keluarga yang kurang mampu, cacat fisik, sakit mental, kurang pintar, tidak rupawan, menerima perlakuan buruk orang lain ataupun keadaan sulit lainnya yang membuat mereka cenderung merasa minder dan sulit menerima dirinya sendiri.
Upaya untuk mengatasi hal-hal demikian adalah dengan berusaha untuk menerima dan mencintai diri sendiri. Bagaimana seseorang dalam hidupnya selalu berusaha untuk berdamai dengan dirinya sendiri, sebelum ia berdamai dengan orang lain. Mencintai diri sendiri bukan menandakan bahwa seseorang adalah orang yang egois, ini merupakan pikiran salah yang harus diperbaiki, karena mencintai diri sendiri berguna untuk memperbaiki hidup di berbagai bidang. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang lain. Dengan mencintai diri sendiri, seseorang memiliki kemudahan untuk mengenali kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Sebelum mencintai orang lain, ada baiknya kita memulai untuk mencintai diri sendiri. Meskipun terlihat mudah tidak semua orang bisa melakukannya (menerima diri mereka). Kebanyakan orang akan membandingkan diri mereka dengan orang lain. Mereka sulit merasa bersyukur dengan dirinya, selalu merasa lebih rendah dari orang lain.
Beberapa cara yang dapat dilakukan agar lebih bisa mencintai diri sendiri, yaitu:
Jangan terlalu mendengarkan omongan orang lain
Boleh-boleh saja jika seseorang mendengarkan apa yang orang lain katakan, namun seseorang tidak perlu memaksakan diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang lain dan tidak perlu takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Beranilah untuk menjadi yang berbeda, karena orang lain tidak punya hak untuk mengatur kehidupan seseorang.
Ada sebuah cerita yang mendeskripsikan poin ini. Nasruddin bersama putranya berangkat ke pasar. Karena rasa sayangnya, ia mendudukkan putranya di atas keledai, sementara ia sendiri berjalan menuntun keledainya itu. Di tengah jalan, beberapa orang berceloteh bahwa kelakuan mereka itu tidak pantas. Mengapa seorang anak muda yang sehat duduk di atas keledai, sementara ayahnya yang tua berjalan di sampingnya. Nasruddin merasa malu sehingga ia menyuruh putranya turun dan ia sendiri yang menunggang keledai. Tapi kali ini pun orang-orang menganggapnya sangat tega kepada putranya sendiri, “Masa seorang ayah tega membiarkan putranya berjalan menuntun keledai, sementara ia enak-enakan duduk”.
Akhirnya Nasruddin menyuruh putranya ikut naik menunggangi keledai dan duduk di depannya, kali ini orang-orang menggerutu mengapa ayahnya membuat si anak yang mengusiri keledai. Saat ia menyuruh putranya duduk di belakang, orang-orang kembali berkomentar bahwa mereka berdua tidak berbelas-kasihan karena bersama-sama menunggangi keledai yang kecil. Dengan sebal, akhirnya Nasruddin kembali ke rumah, menggendong keledai tersebut dan berjalan kaki ke pasar bersama putranya.
Dari cerita tersebut, bisa diambil pelajaran bahwasanya seseorang hendaknya mendengarkan omongan orang lain haruslah disertai kebijaksanaan. Bisa ditimbang-timbang dulu apakah omongan tersebut menguntungkan ataupun merugikan bagi diri sendiri.
Jauhi Mereka Yang Berusaha Mempertahankanmu
Ada baiknya apabila menjauhi orang yang membawa efek negatif dalam kehidupan pribadi seseorang. Hal ini dilakukan bukan atas dasar membencinya melainkan agar dapat terhindar dari pengaruh buruk mereka. Sang Buddha sendiri menjelaskan dalam Sigalovada Sutta (DN.iii.180) di jelaskan bahwasanya seseorang harus mencari mereka yang bisa memotivasi dan peduli. Tidak perlu merasa khawatir kehilangan mereka yang tidak peduli, tetapi khawatirlah jika harus kehilangan mereka yang mencintai. Teman-teman yang baik akan selalu memotivasi untuk melakukan perbuatan baik, bukan mencemooh, menghasut dan menjelekkan tetapi senantiasa memberi dorongan.
Memaafkan Kesalahan Di Masa Lalu
Pada kutipan Bhaddekarata Sutta (MN.iii. 187) menjelaskan bahwasannya seseorang hendaknya tidak terlena dengan hal sudah berlalu. Jadi, apapun bentuk kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu, seseorang hendaknya selalu berusaha merelakan dan memaafkan dirinya sendiri. Hal ini sebagai bentuk pemahaman bahwa tidak ada manusia yang sempurna yang tidak luput dari kesalahan, namun bukan berarti ketika kita mengetahui hal itu lalu punya keinginan atau niat untuk melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain atau makhluk lain.
Menerima Kekurangan Yang Dimiliki
Menerima dalam hal ini dimaksudkan belajar menerima segala kekurangan yang dimiliki dan selalu yakin dengan kelebihan yang ada pada diri. Memandang pribadi sama dengan orang lain dengan berpikir “Kita mempunyai kekurangan yang menjadi kelebihan bagi orang lain, tetapi kita juga punya kelebihan yang menjadi kekurangan orang lain”. Artinya setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, oleh karena itu kita hendaknya jangan menyombongkan diri atas kelebihan yang dimiliki, namun senantiasa membagi ilmu yang kita ketahui apabila ada orang lain yang butuh bantuan.
Memahami Jasmani Yang Sesungguhnya, Tetap Mencintai Namun Tidak Melekati
Merupakan ciri khas dari Agama Buddha untuk memandang segala sesuatu berdasarkan realitas yang sesungguhnya. Sang Buddha menjelaskan dalam Vijaya Sutta (SN 1.11) berkaitan dengan jasmani yang tidak kekal adanya. Perenungan akan penjelasan sutta tersebut dapat diimplementasikan dengan meditasi kayagatasati (perenungan terhadap 32 bagian tubuh) menyadari realitas tubuh ini yang sesungguhnya kotor, menjijikkan, dan tanpa diri. Selain itu, dapat dilakukan dengan praktik meditasi asubha (perenungan terhadap kejijikan) umumnya dengan objek mayat. Di sini dengan jelas dapat dipahami bahwasanya tubuh pada akhirnya akan berakhir mengerikan, membiru, menggembung, membusuk, dan hancur. Dengan melakukan perenungan ini, seseorang akan menjadi lebih waspada dalam bertindak maupun berucap, tidak menganggap tinggi dirinya ataupun memandang rendah orang lain dan juga tidak melekati tubuh sebagaimana menganggap jasmaninya adalah indah.
Kesimpulan
Setiap orang pasti memiliki masalah berbeda-beda, entah itu masalah yang kecil maupun masalah yang memiliki intensitas tinggi. Kebanyakan orang kadang merasa terbebani dengan masalah dan tak terima. Namun jika diambil makna dan hikmah dari masalah tersebut, maka seseorang dapat mengetahui apa arti dari masalah yang terjadi pada dirinya sehingga dalam menghadapinya dengan kebijaksanaan.
Ketika menghadapi masalah, berusahalah untuk mencari cara terbaik agar tidak merasa terbebani. Bukan pasrah akan keadaan yang dihadapi dan jangan menggunakan akal yang tidak sehat seakan-akan tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikannya, mencoba untuk berpikir dewasa.
Oleh Bhikkhu Jayanando
Minggu, 27 Oktober 2024