Kecemasan dan Ketakutan
- Puja Bakti Umum
- August 29, 2024
- 14 minutes read
“Kāmato jāyatī soko, kāmati jāyatī bhayaṁ
Kāmato vippamutassa, natthi soko kuto bhayaṁ ‘ti.”
“Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan, seseorang yang terbebas dari kemelekatan tidak akan mengalami kesedihan dan ketakutan.” (Dhammapada, piya vagga XVI. 215)
Pendahuluan
Rasa cemas, khawatir dan takut sepertinya sudah menjadi bagian dalam kehidupan seseorang. Setiap orang pasti pernah atau bahkan sering mengalaminya ketika kita masih kecil, bentuk-bentuk pikiran yang negatif ini sudah kita alami, setelah remaja, dewasa, sampai usia lanjutpun kita masih mengalaminya. Sebagian orang hidupnya kekurangan, merasa cemas memikirkan sesuatu.
Kita tidak bisa terhindar sepenuhnya dari kecemasan dan ketakutan karena kita masih menjadi umat awan, belum terbebas dari kekotoran batin. Kecemasan dan ketakutan pada tingkat tertentu adalah wajar karena dapat membuat kita lebih berhati-hati dan waspada dalam bertindak. Namun kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dapat menyebabkan masalah bagi kita seperti mudah terserang penyakit, sulit tidur dan sebagainya.
Pembahasan
Ada dua jenis kecemasan yaitu:
Sebab Kecemasan
Kecemasan, kekhawatiran, maupun ketakutan sesungguhnya bersumber dari diri sendiri. Dalam Aṅguttara Nikāya, II. 173, ada empat sebab mengapa kita sering cemas, khawatir, maupun ketakutan:
Kemelekatan terhadap nafsu kesenangan indera.
Kesenangan indera adalah kebahagiaan bermata kail karena di balik kesenangan-kesenangan tersebut menyimpan derita, cemas, khawatir dan takut. Memang, setiap orang adalah wajar mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi, seperti memiliki rumah bagus pakaian indah, serta memiliki suami, istri, dan anak-anak. Banyak orang merasa ketakutan pada saat menjelang kematian karena tidak bisa melepaskan kesenangan-kesenangan inderanya. Kemelekatan terhadap kesenangan indera itulah yang menyebabkan munculnya kecemasan maupun ketakutan.
Kemelekatan terhadap tubuh.
Tubuh yang baik dan sehat adalah idaman setiap orang. Akan tetapi tubuh kita pun akan berproses sesuai dengn sifatnya, yaitu akan berubah. Kalau kita tidak menyadari perubahan yang akan terjadi pada tubuh, melekat pada tubuh ini, maka kecemasan dan ketakutan akan muncul.
Masa belum melakukan perbuatan bajik dan bermanfaat.
Hidup kita ibarat sebuah perjalanan yang panjang dan jauh. Jika telah mempersiapkan bekal untuk melakukan perjalanan tersebut, kita tidak akan khawatir, kekurangan sesuatu di tengah perjalanan. Demikian pula hidup, kita perlu memiliki bekal kebajikan yang cukup agar bisa hidup dengan baik. Namun, jika kita tidak memiliki bekal kebajikan yang cukup, inilah yang membuat kita takut tentang hidup kita selanjutnya.
Masih memiliki keraguan dan kebingungan tentang Dhamma.
Kehidupan kita tidak terlepas dari tradisi. Tradisi setiap daerah berbeda-beda. Orang yang keyakinan lemah, meskipun sering belajar dengan tradisi yang ada di daerahnya. Kemelekatan terhadap tradisinya tanpa penyelidikan inilah yang menyebabkan seseorang merasa cemas maupun takut terhadap kehidupannya.
Cara Mengatasi Kecemasan
Kecemasan maupun ketakutan adalah penyakit mental yang bersumber dari pikiran. Dalam Aṅguttara Nikāya, III, 71, ada lima perenungan yang hendaknya kita lakukan untuk mengurangi kecemasan maupun ketakutan.
Perenungan terhadap usia tua.
Saya wajar mengalami usia tua, saya tidak akan mampu menghindari usia tua. Ketika kaita masih muda, rambut kita masih hitam, kulit masih kencang, tenaga masih kuat, dan indera-indera kita masih normal. Namun ketika usia tua datang, rambut berubah menjadi putih, kulit menjadi keriput dan indera-indera tidak normal lagi. Perenungan ini membuat kita yang semula cemas karena perubahan yang terjadi pada jasmani menjadi tenang dan tidak sombong dengan masa muda.
Perenungan terhadap penyakit.
Saya wajar menyandang penyakit, saya tidak akan mampu menghindari penyakit. Sakit merupakan rentetan dari sebuah kehidupan yang akan kita alami. Sang Buddha pun masih mengalami sakit jasmani, apalagi kita yang masih awam. Kita sakit fisik, sering kali kita menambah dengan sakit mental, yaitu cemas, khawatir, dan takut terhadap penyakit kita. Namun, dengan perenungan ini, kita tidak akan menambah sakit fisik dengan sakit mental.
Perenungan terhadap kematian.
Saya wajar mengalami kematian, saya tidak akan mampu mengindari kematian. Setiap kelahiran pasti akan diakhiri dengan kematian. Pada saat ini banyak orang merasa cemas maupun takut, ketika hendak berpergian. Sesungguhnya kematian ini tidak hanya terjadi ketika seseorang sedang berpergian. Kita duduk atau tidur di rumah pun bisa meninggal, kalau saatnya tiba mengapa kita harus cemas dan takut sehingga kita tidak bisa menikmati perjalanan kita.
Di dalam Dhammapada, papa vagga 128, dikatakan bahwa:
“Na antalikkhe na samuddamajjhe,
Na pabbatānam vivaraṁ pavissa, Na vijjati so jagatippadeso, Yatthaṭṭhitham nappasahethamacu.”
Artinya: “tidak di angkasa atau di dalam laut, juga tidak di dalam goa atau di atas gunung, tidak ada tempat di dunia ini yang dapat dipakai sebagai tempat sembunyi dan mana seseorang dapat terbebas dari kematian”.
Perenungan tentang kematian ini, selain mengurangi rasa cemas dan takut, juga akan membuat kita lebih meng-hargai kehidupan kita ini.
Perenungan tentang perubahan.
Segala milikku yang ku cintai dan ku senangi, wajar berubah, wajar terpisah dariku. Kita memerlukan sarana-sarana penunjang hidup lain. Selain empat kebutuhan pokok seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan agar kita tetap bertahan hidup. Kita juga memiliki orang tua, sahabat, kerabat dan teman teman. Kita harus sadar bahwa apa yang kita miliki suatu saat akan berubah dan berpisah dengan kita. Kecemasan, kekhawatiran maupun ketakutan pada perubahan atau perpisahan sering dialami setiap orang. Perenungan ini mengajarkan kita agar tidak terikat pada apapun yang kita miliki, tetapi bukan berarti kita harus bersikap acuh tak acuh pada semua itu. Karena harus merawat barang-barang yang kita miliki, melakukan kewajiban kita dengan baik. Tetapi ketika perubahan itu terjadi, kita harus menerima dengan pikiran yang tenang.
Perenungan tentang hukum kamma atau hukum karma (perbuatan).
Hukum kamma atau hukum karma adalah hukum perbuatan yang berlaku universal, kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Di dalam Samuddaka Sutta (Saṁyutta Nikāya, III, 415): Yadisaṁ vapate bijaṁ tadisam labhate phalaṁ.
Artinya: ”sesuai benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetik, pelaku kebajikan akan memetik kebahagiaan, pelaku kejahatan akan memetik penderitaan”.
Sebagian besar orang memahami hukum kamma atau hukum karma dengan benar. Kita tidak bisa menghindari akibat perbuatan buruk kita sendiri. Namun, akibat perbuatan buruk itu bisa kita meminimalkan akibatnya, yaitu dengan melakukan perbuatan bajik atau perbuatan baik, kita tidak akan menjadi takut ataupun cemas. Namun, kita hurus menyadari bahwa perbuatan kita saat ini ikut menentukan akibat yang akan kita terima. Oleh karna itu, kita juga harus berhati-hati dalam berbuat.
Kesimpulan
Kesenangan adalah awal munculnya kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan. Namun, apabila kita mengimbangi kesenangan tersebut dengan pengertian Dhamma atau Dharma yang benar, dengan bijaksana memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kecemasan maupun ketakutan akan dapat kita kurangi.
Oleh Bhikkhu Jayanando
Minggu, 18 Agustus 2024