Cancel Preloader

Peran Orangtua Menghadapi Fenomena Fatherless

 Peran Orangtua  Menghadapi Fenomena Fatherless

 

Sukhā matteyyatā loke, atho petteyyatā sukhā
Sukhā sāmaññatā loke, atho brahmaññatā sukhā.

Berlaku baik kepada ibunda mendatangkan kebahagiaan di dunia.
Begitu pula, mendatangkan kebahagiaan, berlaku baik kepada ayah anda.
Berlaku baik kepada para petapa mendatangkan kebahagiaan.
Begitu pula, mendatangkan kebahagiaan, berlaku baik kepada para brāhmaṇa.

 

(Dhammapada, Nagāvaggo Syair 332)

 

 



Pertumbuhan tanpa panutan ayah yang hadir secara fisik, emosional, maupun keduanya alias fatherless berdampak pada tumbuh kembang anak. Psikolog di Mykidz Clinic Gloria Siagian M.Psi. menyampaikan efeknya tidak hanya dirasakan oleh anak laki-laki, tetapi juga anak perempuan. “Fatherless itu dalam artian ayah tidak hanya hadir secara fisik, tapi bisa jadi tidak hadir secara emosi,” fenomena ini membuat anak tumbuh hanya diasuh oleh sosok ibu. Padahal, tumbuh kembang anak bisa sempurna ketika ia juga diasuh oleh ayah. Fenomena fatherless bisa dicegah atau setidaknya diminimalisasi jika laki-laki memahami betapa pentingnya peran ayah dalam suatu keluarga. Ketika akan atau sudah menjadi seorang ayah, Gloria menyarankan agar laki-laki mengikuti komunitas ayah agar memiliki teman untuk saling berbagi tentang dunia ayah. 

Melalui komunitas ini, laki-laki bisa membangun kesadaran diri bahwa peran seorang ayah lebih dari sekadar pencari nafkah. “Bisa saling sharing dan membangun awareness, sehingga mereka tidak meninggalkan luka untuk anaknya karena fatherless.” Menurut Gloria, ketika seorang ayah bicara dengan sesama ayah seputar pengasuhan anak, apa yang dibicarakan akan lebih “masuk” dibandingkan ketika lawan bicaranya adalah seorang ibu. “Kalau sudah bicara antara lelaki, dia bisa melihat bahwa dia tidak sendirian, dan punya pandangan yang sama bahwa ini (mengasuh anak bersama istri) harus dilakukan.” 

Ketika ayah ikut membantu mengasuh anak, hal tersebut dapat membuat ibu merasa senang. Dampaknya, anak juga merasa senang karena diasuh oleh kedua orangtuanya. Anak juga dapat melihat interaksi yang positif antara ayah dan ibunya. Meskipun, bukan berarti ayah tidak turut membina dan mengasuh anak. Hanya saja ada peran-peran yang lebih tepat dilakukan oleh seorang ayah, serta lebih tepat dilakukan oleh seorang ibu. Kebanyakan, kalau ayahnya tidak ada, tidak muncul sense of purpose dalam diri anak, seperti ‘saya mau apa ya ke depan?’. Apalagi, kalau ibu tidak mengambil peran untuk mengarahkan.

Dua penyebab munculnya fenomena fatherless:

  1. Ayah sekadar pencari nafkah. Faktor pertama penyebab terjadinya fenomena fatherless di Indonesia adalah masih ada yang menganggap peran ayah sekadar pencari nafkah. Padahal, ayah juga berperan dalam mengasuh anak. Bahkan, ayah yang aktif dalam mengurus anaknya memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan sang buah hati karena dekat dengan mereka. “Ayah memiliki peran dalam membentuk kepribadian dan karakter anak.” Ia tidak menampik, anggapan ini berkaitan dengan budaya patriarki yang masih cukup melekat di Indonesia. Urusan anak-anak hanya perlu diketahui ibu, sementara mencari nafkah hanya perlu dilakukan ayah. Urusan anak dirasa bukan urusan ayah, tetapi ibu. Soal ambil rapor, ‘itu (dianggap) urusan ibu-ibu, ayah enggak ikut’. Meskkipun demikian, beberapa tahun belakangan sudah mulai terjadi pergantian peran atau konsep co-parenting. Ayah dan ibu sama-sama mengurus dan terlibat dalam kehidupan anak mereka, misalnya sesederhana menyiapkan mereka bekal. “Sekarang cukup banyak juga ayah yang ikut mengambil rapor, ikut menonton kalau anaknya ada pertunjukan.”

  2. Pemikiran yang belum matang. Penyebab lainnya dari fenomena ini adalah seorang ayah yang pemikirannya belum matang atau belum sepenuhnya “menjadi” seorang ayah. Lantaran belum selesai dengan dirinya sendiri, ayah tersebut belum memahami bahwa anak juga merupakan tanggung jawabnya. “Kalau ayahnya belum ‘matang’, jadi seperti berlomba dengan ego. ‘Saya memang punya anak, tapi kan saya punya kebutuhan sendiri. Butuh me time, butuh melakukan sesuatu.” Sementara itu, ayah yang sudah memahami perannya akan membantu mengasuh dan merawat anak bersama istri di sela-sela kesibukannya karena meluangkan waktu.


Empat dampak fatherless yang membahayakan anak laki-laki dan perempuan

  1. Kebingungan gender. Orangtua adalah panutan atau role model bagi anak dalam segala hal, termasuk seputar gender. Anak perempuan lebih condong kepada ibunya untuk mengetahui dan mempelajari gendernya, serta bagaimana mereka harus bersikap. Hal serupa juga terjadi pada anak laki-laki dan ayahnya. Namun, ini tidak dapat terjadi ketika anak tumbuh tanpa sosok ayah. “Anak laki-laki tidak bisa mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki, karena tidak pernah punya model laki-laki dalam hidupnya, bisa jadi kebingungan mesti apa juga”

  2. Haus kasih sayang. Dampak terburuk lainnya adalah haus afeksi atau kasih sayang pada anak perempuan. Gloria menjelaskan, ia pernah menelaah penelitian tentang anak perempuan yang menjadi “agresif” perihal afeksi, karena tidak memiliki sosok ayah. “Karena tidak ada ayah dalam kehidupannya, bisa jadi dia lebih haus pada perhatian laki-laki” 

  3. Tidak memahami sentuhan yang wajar. Anak dapat memahami sentuhan yang wajar dan tidak wajar dari orangtuanya. Anak perempuan dapat diedukasi oleh ibunya dan melihat contohnya dari sang ayah. Misalnya, ayah tidak pernah menyentuh secara tidak wajar selama mengurusnya. Ayah menyentuh anak perempuan secara wajar dengan memberi pelukan, ciuman di pipi atau kening, mengusap kepala, merangkul, atau menggandeng tangan. Pengalaman itu akan dijadikan sebagai referensi sepanjang anak perempuan bertambah usia dan sepanjang mereka bertemu dengan figur laki-laki. 

  4. Tidak mengetahui peran yang semestinya. Anak laki-laki yang tumbuh fatherless, tidak akan mengetahui peran yang semestinya sebagai seorang laki-laki. Pasalnya, mereka tidak memiliki contoh tentang bagaimana harus bersikap dalam situasi tertentu, bahkan cara memperlakukan perempuan. Kedekatan dengan ayah, akan membuat anak laki-laki bisa belajar dengan mengamati interaksi antara ayahnya dan ibunya. “Tidak punya contoh harus melakukan apa dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga, tidak bisa menentukan arah yang perlu diambil keluarganya, atau tidak tahu cara memimpin keluarganya,”

Peran Ibu dan Ayah Menumbuhkan Karakter Buddhist

Ibu dan ayah juga disebut sebagai dewa pertama (pubbadevatāti) dan sebagai guru pertama (pubbācariyāti. A. I. 132). Ibu dan ayah adalah dewa bagi anaknya. Mereka adalah penyelamat ketika anak masih tak tahu apa-apa. Selain itu mereka juga sebagai guru pertama karena merekalah yang pertama kali mengajarkan apa yang perlu kepada anaknya. Mereka yang menunjukkan dunia. Oleh karena menghormati orangtua adalah hal yang dianjurkan oleh para bijaksanawan (Mātāpitūnaṃ, bhikkhave, upaṭṭhānaṃ paṇḍitapaññattaṃ sappurisapaññattaṃ, I. 151).

Anak laki-laki maupun perempuan memerlukan sosok ayah agar memiliki panutan atau roll model. Jadi, mereka memiliki gambaran seperti apa seorang laki-laki harus bertindak. Mereka mengetahui seperti apa perawakan laki-laki dewasa melalui ayahnya, sementara perempuan dewasa seperti ibunya. Anak juga bisa mengetahui perbedaan fisik antara keduanya. Mereka juga akan memahami konteks hubungan perempuan dan laki-laki, karena muncul (pemahaman) dengan melihat interaksi ayah dan ibunya.

Sebagai ayah dan ibu yang sangat terpuji sangat penting dalam menumbuhkan nilai-nilai universal dalam agama Buddha akan membetuk karakter yang positif bagi anak. Dalam The essensi of Buddha Abhidhamma, nilai-nilai tersebut antara lain: (1) keyakinan (saddhā), (2) cinta kasih (mettā), (3) malu berbuat jahat (hiri), (4) takut akan akibat berbuat jahat (ottapa), (5) keperdulian (sati), (6) ketenangan keteguhan batin (Cittapassaddhi), (7) ucapan jujur (sammāvācā), tindakan yang benar (sammā kammanta), belas kasihan (karuṇā), dan (8) bijaksana (paññā). 

Ulasan Brahma Sutta (AN.4.63) menjelaskan kepada para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam dengan Brahmā di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan guru-guru pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan dewata-dewata pertama di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. Keluarga-keluarga itu berdiam dengan mereka yang layak menerima pemberian di mana di rumah ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

“’Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Guru-guru pertama,’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Dewata-dewata pertama’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. ‘Yang layak menerima pemberian’ adalah sebutan untuk ibu dan ayah. Dan mengapakah? Ibu dan ayah adalah sangat membantu bagi anak-anak mereka: mereka membesarkan anak-anak mereka, memelihara mereka, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

Ibu dan ayah disebut “Brahmā,” dan juga “guru-guru pertama.” Mereka layak menerima pemberian dari anak-anak mereka, karena mereka berbelas kasih kepada keturunan mereka. Oleh karena itu seorang bijaksana harus menghormati mereka dan memperlakukan mereka dengan hormat. Seseorang harus melayani mereka dengan makanan dan minuman, dengan pakaian dan tempat tidur, dengan memijat dan memandikan mereka, dan dengan mencuci kaki mereka. Karena pelayanan itu kepada ibu dan ayah, para bijaksana memujinya di dunia ini dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.


☸☸☸


Oleh Bhikkhu Gunaseno

Minggu, 11 Agustus 2024


Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post