Tujuh Rangkaian Warisan Mulia kepada Sāmaṇera Rāhula

 Tujuh Rangkaian Warisan Mulia kepada Sāmaṇera Rāhula

 

Sukhaṃ yāva jarā sīlaṃ, sukhā saddhā patiṭṭhitā. 

Sukho paññāyo paṭilābho, pāpānaṃ akaraṅaṃ sukhaṃ

“Moral akan memberikan kebahagiaan sampai usia tua, keyakinan 

yang telah ditanam kuat akan memberikan kebahagiaan, kebijaksanaan 

yang telah diperoleh akan memberikan kebahagiaan, tidak berbuat jahat akan memberikan kebahagiaan”. 

 

(Dhp. XXIII: Nagga Vagga: 333)

Dari perkawinan Pangeran Siddhattha dengan Bimbādewi (Yasodharā), lahirlah seorang putra tunggal bernama Rāhula, yaitu satu nama yang tidak umum diberikan. Berita kelahiran bayi tersebut disampaikan kepada Pangeran Siddhattha segera sesudah Beliau kembali berkereta keliling kota Kapilavatthu setelah menghabiskan waktu seharian di sebuah taman. Ketika mendengar berita itu, Beliau berujar “Rāhu jāto bandhanaṃ jātaṃ” (Sebuah belenggu telah lahir, suatu ikatan telah lahir). Bersamaan dengan itu, Beliau memutuskan meninggalkan kehidupan yang diwarnai dengan kesenangan indrawi untuk menempuh kehidupan mengembara tanpa rumah sebagai seorang samaṅa atau petapa. 


Pada malam itu juga, setelah sekejap memandang istri dan putranya yang wajahnya tidak tampak oleh-Nya, Beliau meninggalkan istana dengan naik kuda Kaṅṭhaka (kuda putih) dengan diikuti oleh pelayan setia-Nya, Channa. Ayah dan anak tidak pernah berjumpa lagi selama tujuh tahun semenjak kelahiran Rāhula dan keberangkatan Pangeran Siddhattha meninggalkan istana. Beberapa tahun kemudian, setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau kembali mengajar Dhamma kepada orang-orang Sakya. Ketika berpikir telah cukup waktu berdiam di Rājagaha, Sang Bhagavā kemudian berangkat ke Kapilavatthu dan akhirnya tiba di sana berdiam di Nigrodhārāma di antara suku Sakya. Kemudian pada pagi hari, Sang Bhagavā setelah mengenakan jubah, dengan membawa mangkuk dan jubah luar, Beliau menuju tempat kediaman Raja Suddhodana. Setelah sampai di sana, Beliau duduk di tempat yang sudah disediakan. Kemudian Putri Yasodhāra berkata kepada Rāhula, “Inilah ayahmu, Rāhula. Pergilah kepada-Nya dan mintalah warisanmu (Mahāvagga, Vinaya Pitaka).  


Kemudian, Rāhula pergi mendekati Sang Bhagavā. Setelah berada di dekat-Nya, dia berdiri di hadapan Sang Bhagavā dan berkata “Sungguh nyaman bayangan-Mu, O Samaṅa. selanjutnya, setelah menerima dana makan dan mengucapkan anumodana, Sang Bhagavā bangkit berdiri dan beranjak pergi. Si kecil Rāhula membuntuti Sang Bhagavā seraya berkata “Berikan kepadaku warisan, O Samaṅa, berikan kepadaku warisan, O Samaṅa”. Si kecil Rāhula mengikuti Sang Bhagavā sampai ke Nigrodhārāma. Kemudian timbulah pikiran pada Sang Bhagavā “Warisan ayah yang dicari anak ini pasti akan menghancurkan pelatihannya. Baiklah, Aku akan menganugerahkan padanya Tujuh Rangkaian Warisan Mulia yang Aku peroleh di bawah Pohon Bodhi, Aku akan menjadikannya pemilik warisan penakluk dunia”. 


Sang Bhagavā kemudian meminta kepada Yang Mulia Sāriputta untuk menahbiskan Rāhula menjadi sāmaṅera. Sejak saat itulah, Rāhula menjadi sāmaṅera pertama dalam umur tujuh tahun dan menjalankan sepuluh pelatihan yang patut dilatih oleh seorang sāmaṅera. Selama menjadi sāmaṅera, Rāhula terkenal dengan sāmaṅera yang sangat patuh dan taat melaksanakan peraturan-peraturan dengan baik. Selain itu, sāmaṅera Rāhula memiliki kebiasaan setiap pagi yaitu mengambil satu genggaman pasir kemudian dilemparkan seraya berkata “Semoga hari ini saya mendapatkan nasihat dari para guru sebanyak butiran pasir ini”. Pada usia delapan belas tahun, sāmaṅera Rāhula kemudian diupasampadā menjadi seorang bhikkhu sehingga pada akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahanta. Sejak menjadi sāmaṅera sampai menjadi bhikkhu, Sang Bhagavā menetapkan Rāhula sebagai seorang bhikkhu yang terunggul di antara bhikkhu yang lainnya di dalam latihan (sikkhamana). 


Tujuh Rangkaian Warisan Mulia yang diberikan oleh Sang Bhagavā kepada Sāmaṅera Rāhula, yaitu:

  1. Saddhā (keyakinan), yaitu mengacu pada keyakinan terhadap lima hal, yakni: keyakinan terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, & Saṅgha), keyakinan terhadap hukum karma dan buahnya.

  2. Sīla (kemoralan), yaitu mengacu pada lima latihan kemoralan bagi upasaka dan upasika atau menjalankan delapan latihan kemoralan.

  3. Hiri (rasa malu untuk berbuat salah), yaitu mengacu pada perasaan malu untuk melakukan kejahatan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani.

  4. Ottapa (rasa takut atas akibat perbuatan jahat)

  5. Bāhusacca (pengetahuan luas)

  6. Cāga (kemurahan hati)

  7. Pañña (kebijaksanaan)


Warisan yang diberikan oleh Sang Bhagavā kepada sāmaṅera Rāhula, jika ditinjau dari Dhammadāyāda Sutta, Majjhima Nikāya Sutta yang berisikan tentang pewaris dalam Dhamma, tentu hal ini memiliki korelasi. Dalam sutta tersebut, Sang Bhagavā memberikan nasihat kepada para bhikkhu bahkan juga bagi umat Buddha untuk menjadi pewaris dalam Dhamma, bukan pewaris di dalam materi. Oleh karena, dengan menjadi pewaris di dalam materi akan membawa pada kejahatan seperti kemarahan dan kebencian. Dengan demikian, ketika seorang bhikkhu atau umat menjadi pewaris di dalam Dhamma, maka terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna, yaitu  Jalan Mulia Berunsur Delapan. 


Oleh: Bhikkhu Abhayavāso

Minggu, 27 Juli 2025

Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post