Vassa

 Vassa

 

Uṭṭhānenappamādena, saññamena damena ca 

Dīpaṁ kayirātha medhāvī, yaṁ ogho nābhikīrati

Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana, membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir. 

 

(Dhammapada, Appamāda Vagga, 25)

Cūlapanthaka Lahir

Pedagang kaya di Rajagaha mempunyai seorang putri, yang ditempatkan di kamar lantai tujuh dan dijaga sangat ketat. Karena dorongan masa remaja serta merindukan lain jenis, akhirnya ia melakukan hubungan badaniah dengan pembantunya. Karena takut atas perbuatan salahnya, ia berkata kepada pembantunya untuk pergi meninggalkan rumah.

 

Mereka mengambil barang secukupnya, pergi meninggalkan rumah dan menempati satu tempat dan hidup bersama, akhirnya istri  muda ini hamil. Mendekati masa melahirkan, ia berunding dengan suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Tetapi suaminya ketakutan dan menunda-nunda hari keberangkatan mereka dengan berkata: “Kita akan pergi hari ini, akan pergi besok dan sebagainya.”

 

Ia memberitahukan kepada tetangga mau pergi ke rumah orang tuanya. Ketika suaminya tahu istrinya pergi ke rumah orang tuanya, ia secepat mungkin mengejar istrinya. Pada saat itulah istrinya melahirkan anak. “Istri ku, anak apakah dia? Tanya suaminya. “Suamiku, anak laki-laki.” “Apakah yang harus kita lakukan sekarang”? Apa yang menjadi tujuanku ke rumah orang tuaku telah terjadi di jalan. Jadi mengapa kita mesti ke sana? Mereka memutuskan kembali ke rumah. 

 

Anak mereka lahir di jalan (pantha), maka mereka menamakannya Panthaka. Tidak berapa lama kemudian wanita itu hamil lagi. (Kejadian berlangsung sama seperti tersebut di atas). Anak kedua juga lahir di jalan, maka diberi nama Cūlapanthaka dan anak sulung Mahāpanthaka. 

 

Mahāpanthaka dan Cūlapanthaka dibawa ke Rajagaha, tinggal dan dibesarkan di rumah kakek dan neneknya. Mahāpanthaka, selalu menemani kakeknya mendengarkan khotbah Dhamma. Kemudian Mahāpanthaka bergabung menjadi bhikkhu murid Sang Buddha.

Cūlapanthaka menjadi Bhikkhu

Cūlapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi, karena pada kehidupannya yang lampau, pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Cūlapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka dia dilahirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat, meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahāpanthaka sangat kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna.

 

Suatu waktu, Jīvaka datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahāpanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu para bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret Cūlapanthaka dari daftar undangan. Ketika Cūlapanthaka mengetahui hal itu, dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah tangga.

 

Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti. Kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Cūlapanthaka, dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan, dia harus mengulang kata “Rajoharanam”, yang berarti “kotor”. Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jīvaka, menemani para bhikkhu.

 

Cūlapanthaka mulai menggosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan “Rajoharanam”. Berulang kali kain itu digosok, dan berulang kali pula kata-kata rajoharanam meluncur dari mulutnya. 

 

Berulang dan berulang kali

Karena terus menerus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Cūlapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidakkekalan segala sesuatu yang berkondisi.

 

Dari rumah Jīvaka, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui kemajuan Cūlapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranaturalnya menemui Cūlapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Cūlapanthaka, dan berkata:

“Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga), debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut, seseorang dapat mencapai tujuannya dan mencapai arahat.”

 

Cūlapanthaka mendengarkan pesan tersebut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata batinnya terbuka, dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki “Pandangan Terang Analitis”. Maka Cūlapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu.

 

Di rumah Jīvaka, para umat menuang air sebagai tanda telah melakukan perbuatan dana, tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang tertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Cūlapanthaka di vihara.

 

Ketika pembawa pesan dari rumah Jīvaka tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapi ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Cūlapanthaka, yang sekarang telah memiliki kekuatan supranatural. Utusan tersebut kagum, dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada Jīvaka.

 

Utusan itu kembali diutus ke vihara untuk kedua kalinya, dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Cūlapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “Saya adalah Cūlapanthaka.” Dengan bingung, dia kembali ke rumah Jīvaka untuk kedua kalinya.

 

Untuk ketiga kalinya dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Cūlapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Cūlapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jīvaka.

 

Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Cūlapanthaka menyampaikan khotbah Dhamma tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan raungan seekor singa muda. Ketika masalah Cūlapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya, akan mencapai tingkat kesucian arahat.

 

Oleh: Bhikkhu Khemaviro Thera

 

Minggu, 08 Juni 2025

 

Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post