Memahami dan Mewaspadai Kenikmatan Indria

 Memahami dan Mewaspadai Kenikmatan Indria

“Yebhuyyena, bhikkhave, sattā kāmesu laḷitā.’ti

“Para bhikkhu, sebagian besar makhluk-makhluk terpikat 

oleh kenikmatan-kenikmatan indria”. 

 

(Aṅguttara Nikāya 5.7)

 



Berbicara mengenai kenikmatan indria terutama pada manusia dalam kehidupan sehari-hari, memang tidak bisa semudah kata-kata yang diucapkan, misalnya ada yang berani mengatakan, saya bisa jaga indria saya dengan baik dan mudah. Terlalu gampang sekali seperti itu. Apakah demikian?

Mari kita perhatikan dengan sebaik mungkin terhadap penjelasan di bawah ini.

Sikap Manusia pada Umumnya atas Kenikmatan Indria

Sikap dan kebiasaan manusia pada umumnya cenderung ingin bebas melakukan apa saja untuk memenuhi keinginan indrianya sendiri. Demi pemuasan terhadap indria hidupnya secara duniawi manusia cenderung atau lebih mengarah pada pemenuhan nafsu indrianya dengan berbagai barang yang bersifat materi semata tanpa memperhatikan itu baik atau buruk, tidak mengerti itu benar atau salah. 

Segala macam yang menyenangkan untuk dilihat, didengar, dimiliki dan disimpan dengan penuh keserakahan manusia akan mencari dan mengambilnya dengan cara apapun yang dianggap bisa. 


Sikap Manusia Menurut Aṅguttara Nikāya atas Kenikmatan Indria

Bagaimana sikap dalam mengalami kenikmatan-kenikmatan indria sebagaimana kata-kata Sang Buddha yang dijelaskan dalam Kitab Suci Aṅguttara Nikāya, di bawah ini.

“Para bhikkhu, sebagian besar makhluk-makhluk terpikat oleh kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika seorang anggota keluarga meninggalkan arit dan tongkat pikulan dan meninggalkan kehidupan rumah tangga (duniawi) menuju kehidupan tanpa rumah (non duniawi), yang diartikan telah meninggalkan kehidupan duniawi karena keyakinan. Meninggalkan semua kenikmatan indria. Kenikmatan indria yang rendah, kenikmatan indria yang menengah, dan kenikmatan indria yang tinggi semuanya dikenal hanya sebagai kenikmatan-kenikmatan indria.

Lebih lanjut ada dikatakan penggambarannya dalam Aṅguttara Nikāya itu. “Misalkan seorang bayi (anak kecil), yang berbaring pada punggungnya, memasukkan sepotong kayu atau sebutir kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan berusaha secepat mungkin untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat mengeluarkannya secara cepat, maka ia akan memegang kepala anak itu dengan tangan kirinya dan dengan menekukkan jari tangan kanannya, ia akan mengeluarkannya meskipun harus luka dan berdarah. Kenapa? Karena welas asihnya, pengasuh itu terpaksa melakukan itu demi kebaikan dan kesejahteraan anak tersebut. Akan tetapi, ketika anak itu telah tumbuh besar dan telah memiliki akal yang cukup, pengasuh itu tidak akan prihatin lagi padanya, dengan berpikir: ‘Anak itu sekarang telah dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah lagi.’

“Demikian pula, selama seorang bhikkhu yang masih belum sempurna dalam keyakinan melatih kualitas-kualitas baik dan bermanfaat, dalam mengembangkan kebijaksanaan, maka Aku masih harus menjaganya. Tetapi ketika bhikkhu itu telah sempurna dalam keyakinan melatih kualitas-kualitas bermanfaat, dalam mengembangkan kebijaksanaan, maka Aku tidak akan prihatin lagi padanya, dengan berpikir: ‘Bhikkhu itu sekarang telah dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah lagi.’”


Bagaimana Kita Harus Bersikap atas Kenikmatan Indria?

Dengan memahami isi dari Aṅguttara Nikāya 5.7 seperti yang dijelaskan di atas, bahwa Sang Buddha memberikan penggambaran seperti anak kecil itu, sedemikian rupa seorang bhikkhu baru di saat masih baru mulai menjalankan latihan kehidupan kebhikkhuan, maka masih sangat rentan dihadapkan dengan berbagai hal yang membutuhkan pelatihan dan bimbingan yang memadai dan sesuai dari pihak yang sudah terlatih.

Sangat perlu banyak belajar di awal-awal pelatihan dengan berbagai cara yang dapat membuat perubahan sikap dan perkembangan batin terutama pelatihan sikap mental terhadap pemenuhan kebutuhan hidup.    

Setelah waktu yang cukup lama, tentunya sudah ada terjadi perubahan yang semestinya membawa kemajuan yang menumbuhkan kepribadian yang penuh kemandirian dalam sikap hidup yang benar-benar bisa lepas dari ketergantungan pihak lain.  

Dalam hal ini sikap batin harus penuh dengan kebijaksanaan yang dapat mengendalikan diri secara indriawi penuh ketenangan dan kedamaian. Jadi, dengan terkendalinya indria seperti itu tidak lagi tersandera kenikmatan namun dengan kesadaran penuh damai bebas dari kemelekatan.

Kita memang harus bersikap hati-hati dan waspada terhadap segala macam yang terkait dengan kenikmatan indria. Kita harus memahami secara baik dan benar bahwa indria kita itu sangat lincah dan liar sehingga kita perlu waspada dalam mengawasi dan mengendalikan indria kita sendiri.  

Jika indria kita telah terkendali dengan baik dan benar, maka hidup kita akan menjadi tenang dan damai serta bahagia.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Sekian dan terima kasih


Sumber bacaan: 

  1. Kitab Suci Aṅguttara Nikāya, SuttaCentral.

  2. Karma Pencipta Sesungguhnya, Dr. Mehm Tin Mon, B.Sc.Hons (Ygn), M.Sc., Ph.D.(USA) edisi 2011.


Oleh: 

Bhikkhu Cittagutto Mahāthera

(Minggu, 06 Oktober 2024)


Vihāra Jakarta Dhammacakka Jaya

https://www.dhammacakka.org

Related post