Meninggalkan Pengotor Batin
- Puja Bakti Umum
- February 17, 2025
- 9 minutes read

Sabbe saṅkhārā aniccā’ti, Yadā paññāya passati,
Atha nibbindati dukkhe, Esa maggo visuddhiyā.
Pada saat ia yang bijaksana melihat dengan jelas, bahwa segala bentukan tidak kekal adanya; Kala itu, ia akan jenuh terhadap derita. Kejenuhan terhadap derita itu adalah jalan kesucian.
(Dhammapada 277)
Perjalanan spiritual Dhamma dimulai dari melihat dan menyadari tentang penderitaan. Penderitaan adalah adanya rasa yang tidak nyaman baik secara fisik maupun batiniah. Rasa tidak nyaman inilah yang ditandai sebagai penderitaan. Dalam Kebenaran Ariya tentang penderitaan, Guru Agung Buddha menjelaskan tentang penderitaan, yakni; kelahiran adalah penderitaan, ketuaan adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, kesedihan, ratap-tangis, derita jasmani, derita batin, dan kekecewaan adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan, terpisah dengan yang disenangi adalah penderitaan, tidak mendapat sesuatu yang diinginkan adalah penderitaan, singkatnya, lima gugusan penyebab kemelekatan adalah penderitaan.
Nibbāna adalah Kebahagiaan Tertinggi
Kemunculan Guru Agung Buddha di dunia ini menjadi sebab kebahagiaan. Sang Buddha mengajarkan Dhamma di dunia ini untuk menuntun kita menuju Nibbāna. Dalam Dhamma dinyatakan bahwa Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi. Nibbāna adalah padamnya seluruh pengotor batin (kilesa). Seseorang yang mampu melenyapkan pengotor batin secara total maka tidak ada benih kelahiran kembali. Dengan tidak adanya kelahiran, tentu tidak akan ada lagi usia tua, sakit dan kematian. Ini semua telah diajarkan oleh Guru Agung Buddha agar kita berjuang untuk melenyapkan seluruh pengotor batin.
Pengotor Batin
Pengotor adalah hal-hal yang membuat jadi kotor. Dalam bahasa Pali pengotor batin dikenal dengan istilah kilesa. Pengotor batin adalah hal-hal yang membuat batin menjadi kotor. Pengotor batin ini secara umum dijelaskan terdiri dari: lobha, dosa, moha. Keserakahan (lobha) adalah keinginan yang berpusat pada diri sendiri: keinginan untuk kesenangan dan kepemilikan, dorongan untuk bertahan hidup, desakan untuk menyokong rasa ego dengan kekuasaan, status, dan gengsi. Kebencian (dosa) menandakan respons dari penyangkalan, diekspresikan sebagai penolakan, kejengkelan, pengutukan, dendam, permusuhan, kemarahan, dan kekerasan. Kebodohan batin (moha) berarti kegelapan batin lapisan ketidakpekaan yang tebal yang menghalangi pandangan terang.
Dari ketiga pengotor batin ini, muncul berbagai kekotoran batin lainnya seperti keangkuhan, kecemburuan, ambisi, kelesuan, kesombongan dan lain-lain. Dari semua kekotoran batin ini, datanglah dukkha dalam bentuk yang bermacam-macam: seperti kesakitan dan kesedihan, sebagai ketakutan dan ketidakpuasan, sebagai yang terhanyut tanpa tujuan melewati lingkaran kelahiran dan kematian (samsara).
Pengotor batin (kilesa) pada diri seseorang secara rinci terbagi menjadi 3 yakni:
Yang pertama yang tampak dari permukaan berupa pelanggaran disebut dengan vitikkama kilesa. Vitikkama kilesa adalah pengotor batin yang muncul di permukaan dapat dilihat langsung yakni berupa perbuatan yang tidak bajik melalui ucapan dan perbuatan, contohnya adalah tindakan pelangaran moralitas Pancasila Buddhis.
Yang kedua adalah pengotor batin yang menengah (pariyutthana kilesa). Pariyutthana kilesa adalah pengotor batin berupa hal-hal yang ada dalam pikiran seseorang yang muncul setelah ada kontak dari obyek-obyek indria. Contoh pariyutthana kilesa adalah Nivarana (perintang batin) yang terdiri dari adalah nafsu kesenangan, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan kekhawatiran, keragu-raguan.
Yang ketiga adalah pengotor batin pada tahap laten (anusaya kilesa) sangat halus. Anusaya kilesa adalah pengotor batin yang tidak menunjukkan aktivitas, yang masih tertidur, memiliki kecenderungan yang mendasari sering disebut pengotor batin yang mengikuti. Anusaya kilesa disebutkan dalam AN.7.11 meliputi kāmarāgānusayo (obsesi terhadap nafsu indriawi), paṭighānusayo (obsesi kebencian), diṭṭhānusayo (obsesi pada pandangan), vicikicchānusayo (obsesi berupa keragu-raguan), mānānusayo (obsesi berupa kesombongan), bhavarāgānusayo (obsesi untuk kemenjadian), avijjānusayo (obsesi terhadap tidak-tahuan).
Meninggalkan Pengotor Batin
Untuk meraih kebebasan dari penderitaan, kita harus menghilangkan pengotor-pengotor batin tersebut. Namun pekerjaan menghilangkan kekotoran batin harus dilaksanakan dalam cara yang metodis (berdasarkan metode atau dengan cara yang teratur). Pekerjaan ini tidak dapat diselesaikan hanya sekadar dengan diniati, dengan menginginkan pengotor-pengotor batin itu lenyap. Pekerjaan ini harus dipandu oleh penyelidikan. Kita harus mencari tahu terhadap apa pengotor-pengotor batin tersebut bergantung (berusaha untuk melihat kemunculannya) dan kemudian melihat bagaimana untuk melenyapkan penyokong kekotoran-kekotoran batin tersebut tergantung pada kekuatan diri kita sendiri.
Dalam ajaran Sang Buddha telah menunjukkan Jalan untuk melenyapkan seluruh pengotor batin dengan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang terdiri dari: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Yang mana Jalan Mulia Berunsur Delapan inilah, jika disingkat menjadi: Sīla (kemoralan), Samadhi (ketenangan), Pañña (kebijaksanaan). Sīla, Samadhi, Pañña jika dipraktikkan dengan sempurna maka seluruh pengotor batin menjadi lenyap.
Jika dikaitkan dengan kilesa pada uraian sebelumnya, sīla (kemoralan) digunakan untuk meninggalkan pengotor batin yang tampak di permukaan (vitikkama kilesa) sehingga seseorang memiliki kemurnian di dalam kemoralan berupa ucapan dan perbuatan yang baik. Samadhi (ketenangan) digunakan untuk meninggalkan pengotor batin yang menengah (pariyutthana kilesa) seseorang yang mengembangkan samadhi maka Nivarana menjadi redam dan batin menjadi murni tidak lagi mengalami kekacauan. Sedangkan pañña (kebijaksanaan) digunakan untuk meninggalkan pengotor batin yang bersifat laten (anusaya kilesa), seseorang yang berkembang di dalam kebijaksanaan yang jernih dapat memahami realita yang hakiki, dapat melihat jelas segala yang berkondisi maupun tidak berkondisi, tidak ada yang disebut sebagai ini milikku, ini aku, ini diriku. Seluruh pengotor batin lenyap maka apa yang menjadi pekerjaan telah selesai.
Marilah kita berusaha untuk menjalankan ajaran Buddha dengan sebaik mungkin agar kita dapat mencapai Nibbāna. Andaikata kita belum mencapai di saat ini dengan mengikuti ajaran Sang Buddha dengan benar, sebagai hasilnya adalah di dunia ini akan berbahagia dan di kehidupan mendatang tidak mungkin jatuh di alam menderita, serta dapat terlahir di alam bahagia (Surga).
Semoga semua mahkluk hidup berbahagia.
Oleh: Bhikkhu Atthadhiro Thera
Minggu, 26 Januari 2025